Master Agreement kerjasama Indonesia-Jepang tentang pendirian Inalum tidak menyebutkan soal ganti rugi jika dialihkan ke pemerintah Indonesia. Karenanya Pemerintah Indonesia tidak perlu membayar ganti rugi sebagaimana kerap disebutkan di mass media.
"Dalam master agreement nggak ada disebutkan ganti rugi take over. Jepang bersedia memberikan Inalum secara cuma-cuma ke Indonesia dengan alasan sejarah dan persahabatan kedua negara," ungkap mantan Pemimpin Otorita Asahan, DR Bishuk Siahaan, Kamis (25/4/2013).
Bishuk mendampingi Anggota DPD RI asal Sumut Rudolf Pardede saat membahas pengalihan Inalum oleh Indonesia di ruang Beringin Kantor Gubsu.
Karenanya Bishuk menyatakan keheranannya jika pemerintah Indonesia menyatakan diperlukan biaya triliunan rupiah untuk mengakuisisi penuh saham investor Jepang di Inalum.
"Saya baca di mass media, ada ganti rugi untuk mengambilalihnya. Saya heran sebab di master agreement, itu tidak ada," katanya.
Hanya saja menurutnya, yang dibayarkan adalah biaya depresiasi atas aset di pabrik peleburan alumunium itu dan aset di PLTA Asahan II itu sendiri. Begitu pun, biaya depresiasi sudah habis untuk aset pabrik peleburan alumunium, tinggal lagi sekitar 40% yang harus dibayarkan atas aset di pembangkit listrik.
Bishuk adalah tokoh dibalik berdiri dan beroprasinya Inalum kerjasama Indonesia dan investor Jepang, sehingga tahu betul sejarah pendirian dan operasional.
Sangat wajarnya Sumut memiliki saham di Inalum, menurut Bishuk, alasannya adalah karena sejarah lahirnya Inalum adalah atas perjuangan dirinya bersama putra-putra terbaik asal Sumut. Kemudian karena alasan bahwa selama ini Provinsi Sumut beserta 10 kabupaten/kota sudah memberi kontribusi terhadap lancarnya operasional Inalum.
"Awalnya, pemerintah Indonesia tidak mendukung berdirinya Inalum. Bahkan untuk negosiasi dengan investor, saya yang memulai. Bahkan keluarga saya terlibat dalam anggaran memfasilitasi. Pemerintah RI beralasan tidak ada dana untuk pengembangan Inalum, dan itu dibuktikan dengan tidak dimasukkannya Inalum dalam program strategis nasional," katanya.
Kemudian dari sisi balas jasa atas minimnya manfaat yang dirasakan Sumut dari hasil Inalum tersebut selama ini, seperti annual fee, pajak, retribusi dan lainnya, maka menurutnya lagi sangat wajar jika Sumut dan 10 kabupaten/kota ikut dalam di pemilikan saham. "Jadi karena nggak ada ganti rugi yang dibayarkan, ya apa salahnya Sumut ikut di sana, toh juga selama ini Sumut sudah berperan bagi lancarnya operasional Inalum," jelasnya.
Bishuk menambahkan, kondisi sekitar empat bulan lagi sebelum take over, masih memungkinkan untuk Sumut dan 10 kabupaten/kota berupaya memiliki saham tersebut. Sebab jika sudah resmi milik BUMN, dia menyebutkan akan sangat sulit untuk "merebut" sahamnya. [ded]
KOMENTAR ANDA