MBC. DUNIA terguncang dan pilu ketika dua bom meledak Senin sore lalu (atau Selasa dinihari WIB) di Boston, Amerika Serikat. Tiga tewas dan 170 orang terluka. Kita pun bersedih.
SBY, hanya dua jam berselang, men-tweet Obama, mengucapkan belasungkawa. SBY mungkin satu-satunya presiden yang menggunakan tweeter dalam menyampaikan ucapan itu. Lazimnya, disampaikan di atas podium.
Ada tiga hal patut kita renungkan: (1) Apakah simpati kita bersifat universal? (2) Apakah stigma teroris pada Islam akan meningkat? (3) Bagaimana Obama dan SBY menyikapi teroris?
Prof Juan Cole dari Michigan University di blognya menulis, dapatkah simpati kita pada korban di Boston diperluas ke korban di Iraq dan Syria? Bukankan sehari-hari rakyat mati disana jadi korban bom?
Tentu ini menggugah, kita seolah-olah mengkhususkan diri, perhatian dan rasa simpati jika kejadian di AS. Namun, jarang tersentuh dengan kematian-kematian yang tiap hari di berbagai penjuru dunia. Ekseptionalis sudah merusak pikiran dan jiwa kita. Bahkan mungkin, kita sedikitpun tidak terkejut lagi jika terjadi bom di Poso.
Stigma teroris pada Islam dan Arab masih saja melekat kuat. Di Boston polisi langsung mencurigai pria Arab yang menjadi korban ledakan. Meski akhirnya juag curiga pada yang lain setelah ada petunjuk baru.
Kontributor Fox News Erick Rush, dalam akun Twitternya secara sarkastik mengatakan muslim adalah setan: "Yes, they're evil. Let's kill them all."
Pamela Gellner dari Tea Party Nation langsung mengkambinghitamkan jihad Islam.
Di sinipun biasa, pemerintah menuduh Islam sebagai sumber teroris, misalnya menuduh pengajian SMA (rohis).
Pada doa bersama kemarin, Obama yang lebih tenang, tidak mengatakan ini "perang salib", tak seperti Bush.
Ia berjanji menangkap dan adili teroris tersebut. Ini perlu diapresiasi karena ia menempuh jalur hukum. Obama juga mendorong rakyatnya bangkit dan menghadapi realitas.
SBY perlu meniru Obama, soal "tangkap dan adili", bukan langsung ditembak mati oleh Densus 88. Juga SBY perlu melibatkan simpati rakyat dalam memberantas teroris, bukan terjebak pada pengkambinghitaman.
Syahganda Nainggolan
Penulis adalah aktivis, Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle dan kandidat doktor Universitas Indonesia (UI)
KOMENTAR ANDA