MBC. Asosiasi Pendidikan Kebidanan Indonesia (AIPKIND) menilai, angka itu dapat dikurangi dengan meningkatkan peran bidan di masyarakat.
Pada 2011, angka kematian ibu ketika melahirkan tercatat 41 per 100.000 kelahiran hidup. Tahun ini, diperkirakan jumlahnya tidak banyak berubah, bahkan bisa jadi meningkat.
Hal ini dinyatakan Ketua AIPKIND, Jumiami Ilyas.
''Sebab sebagai ibukota, rumah sakit di DKI sering dijadikan rujukan pasien yang sudah tidak bisa ditangani. Karena dari awal rujukannya sudah bermasalah, walau di sini peralatannya lengkap, angka kematianya jadi tetap tinggi,'' ujarnya, kemarin.
Umumumnya, lanjut Jumiami sebagaimana disiarkan Jakarta Bagus.Com, penyebab langsung kematian ibu di Indonesia masih didominasi oleh pendarahan, eklampsia (komplikasi akut dan mengancam nyawa kehamilan) dan infeksi. Sedangkan faktor tidak langsung penyebab kematian ibu karena faktor terlambat dan tidak mendapatkan perawatan memadai.
Faktor tidak langsung itu terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pelayanan kesehatan, paparnya.
Jumaimi menilai, kini pengetahuan masyarakat tentang bidan masih rendah. Masyarakat banyak yang tidak tahu, kalau bidan bukan hanya berperan membantu ibu hamil dan proses persalinan, tapi juga berperan dalam upaya pencegahan penyakit.
Masyarakat hanya beranggapan cuma bisa ke rumah sakit. Sementara mau ke rumah sakit jauh, biayanya mahal. Akhirnya mereka memilih tidak kontrol, sehingga saat penanganannya jadi tidak maksimal. ''Karena sebelumnya sudah telanjur bermasalah,'' tutur Jumiami.
Untuk itu, pihaknnya tak tinggal diam. Diijelaskan, AIPKIND sudah melakukan sosialisasi ke berbagai tempat tentang pentingnya peran bidan dalam menekan tingkat kematian ibu.
Kami sudah bekerja sama dengan pemerintah setempat, guna melakukan sosialisasi. Baik melalui seminar maupun kegiatan lainnya, jelas Jumaimi.
Di desa-desa, bidan masih menjadi andalan dalam memberikan pelayanan medis sekaligus penyuluhan pencegahan penyakit. Peran bidan antara lain membantu merencanakan kehamilan sehat, mendampingi calon ibu selama masa kehamilan, proses kelahiran, dan pasca kelahiran.
Jika ibu mendapat pelayanan kesehatan yang baik, khususnya dari bidan, angka kematian ibu bisa diusahakan ditekan, ujarnya.
Meski peran bidan makin strategis, Sekretaris Jenderal (Sekjen) AIPKIND Yetty Irawan mengakui, penyebarannya belum cukup merata. Hal itu antara lain karena masih banyak tempat yang sulit dijangkau karena prasarana yang buruk.
Idealnya, dalam satu desa yang berpenduduk sekitar 5000 orang terdapat satu bidan. Rasio 1:5000 dinilai cukup optimal bagi bidan dalam menjalankan perannya.
Makannya harus ada kesepakatan antara pemerintah pusat dan daerah terkait prasarana. Agar akses masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan juga lebih mudah, tandasnya.
Sebagai asosiasi kebidanan, lanjut Yetty, pihakannya tidak hanya melakukan sosialisasi guna meningkatkan pengetahuan masyarakat. Tapi juga ikut meningkatkan kemampuan para bidan itu sendiri.
Menurut Yetty, saat ini tercatat ada 327 institusi pendidikan kebidanan yang terdaftar sebagai anggota AIPKIND. Tak hanya itu, sekarang juga ada tiga universitas negeri yang telah menyelenggarakan pendidikan profesi kebidanan.
Bahkan sekarang sudah dikembangkan pendidikan S-2 kebidanan di empat universitas negeri.
Namun pesatnya perkembangan pendidikan kebidanan belum didukung dengan kendali mutu lulusan. Karena setiap tahun setidaknya ada 29 ribu bidan dari institusi, tapi tidak jarang terdengar keluhan stakeholder lulusan tidak siap kerja. Makannya kami pun mendorong agar pendidikan kebidanan ditingkatkan, ungkap Yetty.
Menurut Yetty, peningkatan pendidikan bidan adalah cara terbaik dalam mengurangi angka kematian ibu di Indonesia. Sebab, pendidikan kebidanan memang bertujuan mensejahterakan perempuan Indonesia, khususnya ibu dan anak.
Mempersiapkan bidan yang baik adalah aset negara yang tidak ternilai. Angka kematian ibu akan bisa diusahakan berkurang. Semuanya kita mulai dari pendidikan yang baik, tegas Yetty.[ans]
KOMENTAR ANDA