MBC. Kepentingan asing selalu mendikte dan serakah dalam mengeruk kekayaan alam dari Indonesia. Khususnya bidang pertambangan, kepentingan asing lebih diuntungkan dibanding kepentingan rakyat.
"Sesuai amanah konstitusi, SDA adalah milik rakyat dan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, tetapi yang terjadi justru sebaliknya," kata Mantan Ketua MPR, Amin Rais di Yogyakarta, Rabu, (17/4/2013) di sela acara Presidential Series Lecture bertema "Kontrak Karya Proasing: Indonesia Miskin di Ladang Emas", kebijakan pertambangan di Indonesia tampak karut marut.
Hal itu disebabkan pihak asing cenderung mendikte isi kontrak perjanjian kerja sama yang dijalin dengan pemerintah. Mereka dengan serakah berlomba-lomba mengeruk kekayaan alam dari Indonesia, sedangkan sangat sedikit manfaat yang dirasakan oleh rakyat," katanya.
Ia mengatakan kondisi tersebut menyebabkan rakyat Indonesia seperti ayam yang mati di lumbung padi. Kekayaan alam yang begitu melimpah belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara signifikan.
"Bahkan, bukan hal baru jika ada masyarakat di sekitar pertambangan yang masih hidup di bawah garis kemiskinan," kata Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Oleh karena itu, menurut dia, para pengambil kebijakan di sektor pertambangan diharapkan segera mengambil langkah demi menyelamatkan sumber daya alam Indonesia.
"Masih ada jalan, kita berhak melakukan negosiasi ulang kontrak kerja sama yang memang diatur dalam hukum internasional," kata Amien.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Edy Suandi Hamid mengatakan, sebagai salah satu bidang investasi yang berperan penting dalam kelangsungan pertumbuhan perekonomian nasional, kontrak karya hendaknya harus mengedepankan prinsip keadilan dan juga menjadikan negara-negara maju sebagai "benchmark".
"Sebagai kaum intelektualitas kampus sudah saatnya bersama-sama mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap keberadaan kontrak karya yang ada di Indonesia," katanya. [rob]
KOMENTAR ANDA