MBC. Saran politisi Partai Demokrat Achsanul Qosasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar memeriksa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004 Syafruddin Arsyad Temenggung untuk membongkar kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tidak relevan.
"Sebab tugas Kepala BPPN hanya melaksanakan UU, Inpres dan hasil sidang kabinet. Dalam sidang kabinet itu ada SBY sebagai Menkopolhukam. Bila begitu, yang harus diperiksa ya SBY, dan tidak bisa menyalahkan Presiden Megawati," kata pengamat ekonomi politik, Ichsanuddin Noorsy beberapa saat lalu (Selasa, 16/4).
Ichsanuddin mengatakan SKL memang diterbitkan di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Namun ada proses panjang sebelum keluar SKL, yaitu berkaitan dengan kasus BLBI yang dimulai sejak 1998. Saat itu, Bank Indonesia yang masih menjadi bagian dari pemerintah, mengucurkan pinjaman sebesar Rp147,7 triliun kepada 48 bank yang mengalami masalah likuiditas akibat krisis monoter 1998.
Lanjut Ichsanuddin sebagaimana disiarkan Rakyat Merdeka Online, SKL baru diterbitkan tahun 2002 melalui Inpres Nomor 8/2002, yang tidak berdiri sendiri.
Setidaknya ada tiga dasar hukum yang melandasi, yaitu Tap MPR, UU Nomor 20/2000 tentang Program Pembangunan Nasional dan tiga perjanjian yaitu Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA-perjanjian penyelesaian bantuan likuiditas Bank Indonesia/BLBI dengan jaminan aset), Master of Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA/ perjanjian penyelesaian BLBI dengan jaminan aset dan jaminan pribadi), dan Akta Pengakuan Utang (APU). Tiga perjanjian tersebut tidak pernah dibatalkan di pegadilan.
Di mata hukum, SKL ini tidak ada masalah. Mahkamah Agung dalam keputusannya Nomor: 06G/HUM/2003 tanggal 30 Mei 2007 menyatakan, Inpres Nomor 8/2002 merupakan kebijakan pemerintah yang tidak dapat dijadikan sebagai objek sengketa. MA menyatakan, Presiden berwenang menetapkan langkah kebijakan (beleid regels), demi kepastian hukum serta menyelamatkan aset negara. Dan perlu dicatat, SKL tersebut tidak hanya ditandatangani Kepala Bappenas, melainkan oleh tujuh menteri, termasuk SBY yang saat itu menjabat Menkopolhukam. Kepala Bapennas baru membuat SKL setelah disetujui dan ditandatangani SBY.
Karena itu, Ichsanuddin menilai dorongan Achsanul kepada KPK agar membongkar kasus BLBI adalah percuma saja. KPK juga sangat berat membongkar kasus ini sebab terbentur dengan tembok besar yang berlapis-lapis. Ketiga tembok besar itu adalah aturan hukum, UU KPK yang tidak tidak berlaku surut dan juga opini MA.
Karena itu, Ichsanuddin curiga kasus ini seakan-akan dibuka lagi oleh KPK hanya untuk menyelamatkan Boediono dalam kasus Century. Ichsanuddin merasakan ada kekuatan di KPK yang terus membela Boediono. Saat ini, sudah ada dua fakta yang bisa menyeret Boediono. Fakta pertama terkait dengan surat kuasa Boediono, yang saat itu menjabat Gubernur BI, kepada pejabat BI. Fakta kedua adalah pencairan dana FPJP.
"Jadi terasa betul ada unsur-unsur di KPK yang secara sistematis membela Boediono. Itu terasa betul. Nah saat ini, reputasi KPK di mata publik soal Century sudah sangat rendah. Lalu KPK berpura-pura mau membongkar kasus BLBI, yang sebenarnya hanya untuk mengulur waktu demi menyelamatkan Boediono," tegas Ichsanuddin Noorsy.
Sebelumnya, Achsanul Qosasi menyarankan KPK agar memeriksa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004 Syafruddin Arsyad Temenggung. Menurut Achsanul, Syafruddin A. Temenggung adalah orang yang mengusulkan penerbitan SKL yang juga dikenal dengan release and discharge dengan recovery sebesar 20 persen, dan sisanya dianggap lunas.
Pernyataan Achsanul ini menimbulkan kecurigaan sementara kalangan bahwa Partai Demokrat tengah menggelar operasi untuk melemahkan PDI Perjuangan. Syafruddin Temenggung pada masa itu dianggap memiliki hubungan khusus dengan keluarga Teuku Umar, Presiden Megawati Soekarnoputri dan suaminya, Taufiq Kiemas yang kini adalah Ketua MPR RI. Hubungannya dinilai lebih dekat ke Taufiq Kiemas karena sama-sama kelahiran Palembang. [ans]
KOMENTAR ANDA