Menteri ramai-ramai mencalonkan diri sebagai anggota DPR. Publik harus ikut mengawasi agar tidak ada fasilitas negara yang disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Pengamat politik Pol-Tracking Institute Hanta Yudha menilai, setidaknya ada dua alasan menteri aktif mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
''Menteri model ini umumnya pekerja politik, bukan politisi kuat. Mereka ini ragu karena tidak punya topangan hidup kuat, sehingga khawatir jadi pengangguran setelah tidak jadi menteri,'' katanya.
Alasan kedua, lanjut Hanta, murni strategi partai untuk mendulang suara alias menjadikan menteri ini sebagai vote getter. Menteri ini hanya menjadi caleg bayangan, sebab nantinya setelah terpilih dia menyerahkan perolehan kursinya kepada calon lain.
''Alasan kedua ini, lazim terjadi di Indonesia dan tidak etis. Praktik ini sama saja menteri itu mengkhianati suara rakyat yang sudah memilihnya, karena dia berikan kursi kepada caleg lain. Ini sama artinya mengeksploitasi suara rakyat,'' kata dia.
Hanta mengkhawatirkan, majunya menteri sebagai caleg akan mengganggu tugas kementerian. Selain itu, akan memicu lahirnya konflik kepentingan.
''Tidak menutup kemungkinan pula adanya pemanfaatan fasilitas-fasilitas negara yang dimiliki menteri untuk kepentingan kampanye,'' katanya sebagaimana disiarkan Rakyat Merdeka Online.
Menurut dia, ke depan perlu ada regulasi yang mengatur larangan bagi pejabat negara mencalonkan diri sebagai caleg ketika masih menjabat.
Pejabat negara aktif diperbolehkan menjadi caleg, jika mundur dari kementerian.
''Harus dibuat aturan karena ini masalah serius. Jangan sampai terjadi dualisme loyalitas antara partai atau pemerintah dalam diri menteri. Jika ini dibiarkan akan merusak sistem presidensial,'' tegas dia. [ans]
KOMENTAR ANDA