post image
KOMENTAR
Pemerintah akhirnya mempertimbangkan pemberlakuan pembatasan impor produk pangan melalui sistem tarif. Langkah ini ditempuh karena sistem kuota yang selama ini ditempuh dianggap tidak sesuai dengan ketentuan WTO. Namun di mata Rizal Ramli, sistem kuota impor terbukti tidak transparan dan tidak efektif untuk menjaga stabilitas harga, sehingga merugikan rakyat.

Isyarat akan diterapkannya sistem kuota untuk menjaga stabilitas harga itu tampak dari rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang akan mengkaji pemberlakuan kenaikan tarif bea masuk produk hortikultura. Alasannya, sistem kuota tidak sesuai dengan ketentuan World Trade Organization (WTO). Jika terus dipertahankan, tidak mustahil pemerintah Indonesia akan disibukkan dengan kritikan bahkan gugatan negara-negara yang merasa dirugikan.

“Sistem trarif saat ini adalah yang paling masuk akal. Meski demikian, kita harus hati-hati dalam mengajukan penambahan bea masuk. Tarif bea masuknya harus pas, agar stok domestik terjaga sehingga harganya terjangkau rakyat di satu sisi, tapi petani lokal tidak dirugikan karena harganya kerlewat murah di sisi lain,” ungkap Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang PS Brodjonegoro.

Sebelumnya, mantan Menko Perekonomian Dr. Rizal Ramli jauh-jauh hari sudah mengkritisi sistem kuota impor produk pangan yang selama ini diterapkan. Menurut dia, melambungnya harga berbagai bahan pangan yang terjadi beberapa waktu lalu karena pemerintah tidak memiliki strategi dan kebijakan yang jelas di sektor pangan. Hal ini diperparah lagi dengan adanya sistem kuota impor yang tidak transparan, sehingga memicu terjadinya pat gulipat antara pejabat dan pengusaha penerima lisensi kuota impor yang merugikan rakyat.

“Kalau sistem kuota dihapuskan dan diganti dengan sistem tarif, dipastikan impor kita akan lebih kompetitif. Harga bahan pangan akan lebih murah dan terjangkau oleh rakyat kecil. Beberapa waktu lalu yang terjadi bukan kenaikan harga sejumlah produk holtikultura, tapi lompatan harga atau price jump. Bagaimana tidak disebut lompatan harga, kalau bawang merah yang sebelumnya di bawah Rp 20.000/kg, tiba-tiba naik jadi Rp 90.000/kg?” papar Rizal Ramli yang juga mantan Kepala Badan Urusan Logisitik (Bulog) ini.

Menurut tokoh nasional yang dinobatkan sebagai calon presiden alternatif versi The President Centre ini, lompatan harga yang kini terjadi disebabkan bisnis pangan di Indonesia diatur dengan sistem kuota yang tidak transparan dan tidak kompetitif. Pada praktiknya, pembagian kuota impor ini juga terjadi karena pat gulipat antara pejabat dan pengusaha. Hal ini menjadi sumber pendapatan pejabat dan untuk kepentingan politik. Akibatnya negara dirugikan karena tidak memperoleh penerimaan yang semestinya. Sedangkan rakyat dirugikan karena harus membayar harga pangan lebih mahal daripada harga di luar negeri.

Selaku Ketua Umum Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARUP), Rizal Ramli menyatakan apresiasinya terkait rencana pemerintah yang tengah mengkaji penerapan sistem tarif. Dia juga bersyukur akhirnya pemerintah menyadari, bahwa sistem kuota yang selama ini diterapkan tidak transparan dan cenderung menjadi bancakan bagi pejabat dan para politisi.

“Kendati terlambat, saya tetap merasa gembira jika pemerintah menerapkan sistem tarif. Paling tidak, perilaku pat gulipat antara pejabat, pengusaha, dan para politisi bisa segera dihentikan. Dengan begitu rakyat tidak perlu lagi membayar produk pertanian dengan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan harga di luar negeri,” tukasnya. [rmol/hta]

Kemenkeu Bentuk Dana Siaga Untuk Jaga Ketahanan Pangan

Sebelumnya

PTI Sumut Apresiasi Langkah Bulog Beli Gabah Petani

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Ekonomi