post image
KOMENTAR
Keinginan pemerintah menghidupkan lagi pasal penghinaan presiden dan wakil presiden yang sudah dihapus MK dalam RUU KUHP menuai kecaman. Soalnya, pasal itu berpotensi melahirkan rezim otoriter.

Romli Atmasasmita, Guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran menyatakan, keinginan pemerintah menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden sebagai pelanggaran konstitusi.

''RUU KUHP yang memuat pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden sungguh tidak benar dan tidak mengikuti perkembangan demokratisasi sekarang, jadi saya kira perlu dihapus,'' ujarnya kemarin.

Romli mengingatkan, pemerintah harus patut dengan keputusan MK yang sudah membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Sebagai pelaksana putusan pengadilan, pemerintah tak boleh abai dan arogan memaksakan pasal tersebut masuk kembali ke dalam RUU KUHP.

''Jika dipaksakan, inkonstitusional. Putusan MK sudah final dan mengikat. Jika dipaksakan, bisa-bisa diajukan uji materi ke MK lagi dan dibatalkan lagi,'' ucapnya seperti disiarkan Rakyat Merdeka Online.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar mengatakan, pasal penghinaan terhadap presiden yang terdapat dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) bertentangan dengan norma konstitusi UUD 1945. Sehingga, pasal itu tidak dapat dihidupkan lagi.

''Yang jelas itu bertentangan dengan konstitusi. Yang dibatalkan itu bukan pasalnya, tapi normanya. Normanya itulah yang bertentangan dengan konstitusi, sehingga tidak boleh dihidupkan lagi,'' katanya di Jakarta, kemarin.

Selain itu, kata dia, pasal penghinaan terhadap presiden pernah diuji materi sehingga tak dapat diterapkan lagi.  
''Itu kan melanggar konstitusi. Melanggar hak negara, lalu kenapa harus dihidupkan lagi. Di negara mana pun, pasal yang sudah dicabut tidak boleh hidup lagi,'' katanya.

Anggota Komisi II DPR Budiman Sudjatmiko mengatakan, jika ekpresi masyarakat dianggap menghina kekuasan, maka kekuasan telah menampakkan diri dengan wajah yang sebenarnya.

Dia mengingatkan, masuknya pasal penghinaan presiden, selain sebagai kemunduran demokrasi, juga memberi sinyalemen bahwa pemerintah/penguasa belum siap mendapat kritik dari masyarakat.

 ''Ini refleksi perilaku kekuasaan yang dianggap abai terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat,'' jelasnya.

Menurut Budiman, MK telah mencabut pasal-pasal yang memiliki semangat mengkultuskan kekuasaan. Artinya, dalam kajian hukum MK, semangat mengkultuskan kekuasaan tidak sesuai UUD 45 yang menjunjung tinggi semangat demokrasi.

''Langkah pemerintah yang berupaya memasukkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dalam RUU KUHP, adalah perwujudan wajah bengis kekuasaan, yang dengan legitimasi undang-undang sewaktu-waktu dapat memberangus demokrasi dan memorak-porandakan civil society,'' katanya. [ans]

PHBS Sejak Dini, USU Berdayakan Siswa Bustan Tsamrotul Qolbis

Sebelumnya

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN NELAYAN (KPPI) DALAM MENGATASI STUNTING DAN MODIFIKASI MAKANAN POMPOM BAKSO IKAN DAUN KELOR DI KELURAHAN BAGAN DELI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa