Tragedi penyerangan Lapas Cebongan merupakan puncak es dari kelemahan intelijen membaca keadaan sosial masyarakat sehingga kekerasan yang kerap memakan korban nyawaa pun semakin meningkat..
Begitu disampaikan Chairman Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSI), Soeripto saat diskusi "Huru-hara dan Kekerasan di Indonesia, Kemana Intelijen Negara?" di Dapur Selera, Tebet, Jakarta, Minggu (31/3/2013)
"Salah satu tugas intelejen adalah menganalisa, memang tidak mudah seperti Orde Baru. Saat ini dengan sistem transparasi dan keterbukaan informasi, membuat intelejen sulit melakukan pembuktian, karena bila salah informasi saja, bisa kacau," kata Soeripto.
Menurut Soeripto, kelemahan intelijen semakin jelas terlihat ketika pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang selalu ditandai adanya elemen kekerasaan oleh sekelompok orang yang tidak menerima hasil proses pilkada tersebut. Para pelaku tindak kekerasan dengan mudah meluapkan ekspresinya tanpa terdeteksi.
"Ini membuktikan bahwa kondisi objektif yang membuka peluang orang tidak puas untuk menyampaikan unek-uneknya dengan kekerasan dan mudah terprovokasi semakin terbuka karena tidak ada tindakan pencegahan," ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Soeripto, harapan intelijen mampu menganalisa dan melakukan pencegahan dini terhadap insiden OKU juga Lapas Cebongan tidak akan terjadi.
"Atau memang intelijen sendiri yang terlibat dalam kekerasan itu, ini harus dievaluasi dengan cepat oleh presiden," demikian Soeripto.[rmol/hta]
KOMENTAR ANDA