Anggota Komisi III DPR Ahmad Yani menduga ada upaya untuk melengserkan Abraham Samad dari jabatan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui isu bocornya surat perintah penyidikan Anas Urbaningrum.
"Ada upaya yang sistemik dan terstruktur ingin menyingkirkan Abraham Samad. Saya menangkap kasus itu ingin diarahkan dengan pelengseran Abraham Samad," kata Ahmad Yani di Jakarta, Senin.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu mengatakan ada upaya untuk menghentikan Abraham Samad untuk membongkar kasus-kasus besar. Misalnya dalam kasus Century, Abraham Samad begitu progresif.
Abraham telah menegaskan menemukan adanya tindak pidana korupsi terkait penyalahgunaan wewenang dalam Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Centurry sebagai bank gagal dan sistemik.
"Tidak hanya itu, Abraham juga telah menyampaikan penetapan dua tersangka yaitu Budi Mulya dan Siti Chalimah Fadjriah," kata wakil ketua Fraksi PPP DPR itu.
Namun, kata Yani, sekarang kasus Century tampaknya diarahkan hanya pada persoalan pengawasan, bukan penyalahgunaan wewenang. Sebab, penyalahgunaan wewenang berimplikasi pada tanggungjawab yang sifatnya kolektif kolegial yang melibatkan Dewan Gubernur BI dan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK).
"Belum lagi komitmen Abraham Samad dalam penanganan kasus korupsi lainnya sseperti Hambalang, wisma atlet, kasus migas, sumber daya alam dan perpajakan," katanya.
Yani mengatakan seringkali progresifitas dan keberanian Abraham Samad dibanding pimpinan lainnya yang terlalu hati-hati atau justru punya motif lain untuk memperlambat, mengesankan tidak adanya koordinasi dengan komisioner yang lain.
Indikasi lain, kata dia, Abraham juga pernah didemo oleh para penyidik di internal KPK termasuk desakan LSM yang meminta agar persoalan Sprindik dikriminalisasi.
"Saya berpendapat, Sprindik adalah masalah teknis adminsitrasi penyidikan yang semestinya tidak perlu dibesar-besarkan. Berita acara pemeriksaan yang justru sangat substansial kerap dibocorkan tetapi tidak pernah diusut bahkan diduga dialirkan ke perusahaan media tertentu," tuturnya.
Ironisnya, kata Yani, pertemuan KPK jilid II yakni Chandra M Hamzah, Bibit Samad Riyanto, Johan Budi, dan Ade Rahardja dengan Nazaruddin, justru tidak diberi sanksi apa pun oleh Komite Etik. Padahal, sebelumnya, nama-nama tersebut membantah meski belakangan mengakui pertemuan tersebut.
"Yang ironis, kini keterangan Nazaruddin menjaddi rujukan utama oleh KPK seperti dalam kasus wisma atlet dan Hambalang," pungkasnya. [rob]
KOMENTAR ANDA