Polisi harus bertanggungjawab atas bentrok fisik antara warga dan petugas Brimob yang terjadi di Mandailing Natal (Madina), kemarin. Kalangan aktivis hukum di Medan menilai kinerja dan peran aparat kepolisian (Brimob) sudah tak sesuai semboyan sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.
M Khaidir Harahap SH, aktivis hukum kepada MedanBagus.Com beberapa saat lalu Sabtu (24/3) menyebutkan bentrokan yang pecah di Jalan Lintas Sumatera Utara (Jalinsum) di Desa Jambur, Kecamatan Nagajuang, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Jumat (23/3) merupakan bentuk kesengajaan aparat keamanan yakni polisi tanpa peduli nasib dari masyarakatnya.
''Situasi di lokasi kejadian sempat mencekam. Warga Desa Nagajuang ini bersikukuh memblokade jalan sebagai aksi protes kepada polisi yang menangkap ratusan warga desa mereka. Polisi langsung melakukan sapu bersih hingga bentrok tak terhindarkan. Nah di sini dipertanyakan apa sebenarnya peran polisi dimana simboyan itu? Kami sebagai aktivis hukum saja geram dengan cara aparat keamanan seperti itu,'' kata Chaidir.
Bahkan, lanjutnya, polisi terkesan sengaja mendiami pertikaian sehingga warga geram. Dan membuat polisi dan warga akhirnya terlibat aksi saling lempar benda benda keras.
Sekadar diketahui, kawasan perbukitan Sihayo Sambung merupakan salah satu titik wilayah kontrak karya yang diberikan pemerintah Republik Indonesia di era Presiden Soeharto kepada investor.
Pada Februari 1998 kontrak karya genersi ke-VII diberikan kepada PT Sorikmas Mining selaku investor pertambangan emas.
"Tanah warga yang ada di bukit Sihayo Sambung itu kan tidak banyak. Paling tidak hanya sekitar 30 hektar. Ini yang kita mau agar pihak PT Sorikmas Mining untuk membebaskannya selebihnya terserah merekalah,'' kata magaraja, salah seorang tokoh masyarakat di sana.[ans]
KOMENTAR ANDA