SEBELUM industri pakaian tersebar luas, orang Sumba telah merajut pakaian berupa hasil kerajinan tangan mereka sendiri. Kapas yang menjadi bahan dasar benang, ditanam secara meluas demikian juga tanaman pewarna yang digunakan untuk mendapatkan warna yang diinginkan dengan cara mencelup kedalam pewarna tradisional.
Dengan cara ini, harmoni antara manuasia dan alam tetap terpelihara. Alam menyediakan semua yang dibutuhkan manusia, dan manusia tinggal mengambil untuk di manfaatkan seperlunya saja dan tidak merusaknya.
Saat kini tanaman kapas sudah amat jarang, dan orang lebih suka membeli bahan kain tenun atau bahan jadi dari toko atau pasar.
Hanya beberapa tempat yang masih mempertahankan tradisi pewarnaan kain, seperti di daerah Sumba Timur, disini hanya terdapat dua warna yaitu biru indigo dari pohon nila dan merah dari pohon mengkudu, mulai dari akar himgga kulit pohon. Kain ini dibuat secara tradisional dan masyarakat setempat menyebutnya ‘Hinggi Kombu’ (tenun ikat kombu = mengkudu ).
Biasanya untuk menghasilkan satu lembar kain memakan waktu satu atau dua bulan. Setiap lembarnya mempunyai corak dan motif dari karya seni dan memiliki kisah sejarah tersendiri.
Kebudayaan yang begitu beragam ini memiliki satu benang merah yang mengikat seluruh unsur budaya. Kain tenun ikat Sumba yang begitu sarat akan makna, terlihat menghias paras masyarakat Sumba di berbagai jalinan upacara adat.
Tak hanya itu, ragam tenun ikat Sumba pun menunjukkan betapa banyaknya aspek-aspek kehidupan yang telah diwakilkan oleh keberadaan kain tenun ikat Sumba. Kekayaan tenun ikat masyarakat Sumba menjadi sebuah budaya sakral yang mengikat masyarakat dan kepercayaannya.
Kekuatan kain-kain tenun Sumba Timur tak hanya terketak pada desain yang indah. Motif yang memancarkan makna sosial, kemasyarakatan, keagamaan, hingga seni ini selalu melibatkan jiwa sang pencipta, yang layak disebut maestro tenun. Didalam tiap helainya terdapat refleksi kesabaran dan ketekunan pembuatan selama berbulan-bulan.
Keindahan otentik inilah yang menyebabkan kain tenun ikat masyarakat Sumba telah menjadi komoditas ekspor, sejak jaman penjajahan Belanda dahulu, ini dapat kita lihat dari kain tenun ikat Sumba yang motifnya dibuat oleh Ratu Yuliana dan beliau terinspirasi oleh Ratu Wilhelmina pada masa tersebut.
Para perempuan Sumba telah mahir membuat kain tenun sejak ratusan tahun lalu. Kemahiran ini tercipta secara turun temurun, tak hanya karena kain tenun Sumba memiliki keindahan tersendiri untuk menjadi komoditas sandang, tapi juga menyimpan arti penting dalam kebudayaan.
Mayoritas perajin tenun di Sumba, terdiri dari perempuan. Para suami akan membantu para istri, dalam proses pewarnaan seperti pencelupan dan pemerasan warna, serta proses ikat, yang memerlukan tenaga besar untuk melakukannya. Sebagai produk budaya, kain tenun ikat Sumba mencakup empat perihal penting dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu ikatannsosial, estetika , ekonomi, dan pendidikan yang turun temurun.
Kebudayaan Sumba merupakan aspek budaya yang layak dikenal luas oleh semua bangsa. Bahwa kebudayaan asli bangsa kita sendiri masih ada dan masih bertahan hingga kini. Oleh karena itu, pada tahun 2010 yang lalu kami dari organisasi CTI mengusulkan kepada Pemerintah agar kain tenun ikat Sumba diusulkan untuk mendapat penghargaan dari UNESCO dengan kategori untuk kategori Urgent Safe Guarding List.
Dan Alhamdulillah, insya allah akan diumumkan dalam sidang Tahunan UNESCO yang akan dilaksanakan pada tanggal 2 - 8 desember 2013 di Azarbaizan, di Kota Baku. Indonesia akan mendapat file nominasinomor 868 dengan nama resminya “Tenun Ikat Sumba Weaving of Indonesia.
Memang sebuah tanya pun terlontar saat pencapaian ini sudah diraih. Lalu kemudian apa? Jawabannya adalah: bahwa sebuah pintu telah berhasil kita buka bersama.
Adalah tugas kita, bangsa Indonesia, untuk mengembangkan kebudayaan ini agar terus hidup dan semakin kaya dalam mengisi keindahan keragaman budaya Indonesia. Tidak perlu kita sebutkan secara statistik, berapa jumlah kebudayaan asli Indonesia yang sudah tidak ada lagi saat ini, karena terkikis oleh waktu dan berapa jumlah kebudayaan asli yang masih bertahan.
Kebudayaan Sumba telah memperlihatkan ketahanan budaya yang kokoh seiring perkembangan waktu. Ketahanan budaya adalah kondisi dinamis suatu bangsa untuk menghadapi segala macam bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang ditujukan terhadap kebudayaan.
Betapa masyarakat Sumba telah mampu menjadi pilot project penerapan tatanan kebudayaan asli yang mampu bertahan di era penuh kemajuan ini. Tercetus keinginan agar Sumba mampu menjadi learning center atau pusat pembelajaran dan pengkajian budaya, agar bangsa dapat mengambil intisari penting untuk kelak diterapkan pada kebudayaan lainnya.
Kain tenun ikat Sumba, hanyalah salah satu unsur dari kekayaan budaya yang ditawarkan masyarakat Sumba. Ia menyimpan berbagai cerita mempesona yang layak didengar dan dilihat oleh anak cucu kita.
Tak akan cukup jika kita hanya berbekal hitungan jam saja menjejakkan kaki di tanah Sumba untuk mendalami kebudayaan Sumba. Kami berharap, tidak hanya kami sendiri yang akan melakukan upaya ini. Tapi juga kita semua, sebagai bangsa yang menghargai kekayaan budaya sendiri. (Selesai)
Penulis, Ketua Umum Cita Tenun Indonesia (CTI) yang dalam beberapa tahun terakhir secara terus menerus mempromosikan kain tenun ikat Sumba agar diakui dunia sebagai salah satu peninggalan dunia. Artikel ini diambil dari Orasi Budaya penulis pada Malam Budaya Rakyat Merdeka bertema "Beri Daku Sumba" di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta (Rabu, 20/3). Judul asli Orasi Budaya ini adalah "Senandung Suma untuk Bangsa".
KOMENTAR ANDA