Pusat Investasi Pemerintah (PIP) berharap Pemerintah Indonesia bisa menekan Jepang dalam pengambilalihan PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) sehingga harganya bisa lebih murah.
Kepala PIP Soritaon Siregar mengatakan, pengambilalihan saham Inalum tidak melampaui harga yang dialokasikan pemerintah yakni Rp 7 triliun.
“Kita ingin harganya di bawah Rp 7 triliun,” katanya saat workshop wartawan di Bogor, akhir pekan lalu.
Namun, menurut dia, pengambilalihan saham Inalum hingga saat ini belum disepakati. Pemerintah masih terus melakukan penawaran harga saham dengan Nippon Asahan Aluminium Co Ltd. (NAA). “Inalum itu belum ada angka kesepakatan dengan Jepang,” katanya.
Kendati begitu, dia memastikan pengambilalihan akan tetap berlangsung hingga akhir Oktober 2013. Secara khusus, Soritaon menyebut dana investasi pada 2013 senilai Rp 5 triliun belum dapat dicairkan karena masih diberi tanda bintang oleh DPR. “Masih dibintangi, tapi kami targetkan selesai akhir Oktober,” ungkapnya.
Hal itu disebabkan DPR ingin mengetahui terlebih dahulu rencana bisnis Inalum setelah pengambilalihan nanti. Soritaon mengatakan, Inalum akan menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagaimana disampaikan Menteri Perindustrian MS Hidayat beberapa waktu lalu.
Pemerintah menyiapkan anggaran Rp 7 triliun untuk akuisisi Inalum dari Jepang. Anggarannya disiapkan secara bertahap. Pada 2012, pemerintah menyiapkan Rp 2 triliun dan tahun ini Rp 5 triliun.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Hadiyanto mengaku, masih ada perbedaan harga yang ditawarkan Nippon Asahan Inalum Jepang dengan yang diinginkan Pemerintah Indonesia. Saat ini masih dilakukan negosiasi master agreement atau nilai buku, karena ada perbedaan nilai buku antara pemerintah dan konsorsium Jepang.
Meski demikian, Hadiyanto yakin proses akuisisi akan berjalan lancar. Dipastikan, 31 Oktober 2013 Pemerintah Indonesia bisa menguasai 100 persen saham Inalum. Setelah diakuisisi pemerintah, Inalum akan menjadi BUMN.
Menteri Perindustrian MS Hidayat menilai, opsi initial public offering /IPO (penawaran saham perdana) merupakan jalan paling ideal untuk mengembangkan Inalum setelah proses akuisisi selesai tahun ini.
Dia mengatakan, kebutuhan kapasitas nasional untuk alumunium sebesar 680 juta ton. Sementara kapasitas produksi Inalum hanya berkisar 250 juta ton. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Inalum harus melakukan ekspansi dengan dana yang tidak sedikit.
IPO, menurut Hidayat, menjadi jalan ideal karena tidak membebani pemerintah. “Yang paling baik IPO kalau tidak mau membebani pemerintah, misalnya jumlah saham yang dilepas 20 persen, sehingga pemerintah masih akan menjadi mayoritas,” jelasnya.
Selain meringankan pemerintah, Hidayat menilai IPO Inalum akan membuat kinerja perusahaan semakin transparan dan kontrol publik semakin meningkat. Namun, proses IPO tidak bisa langsung dilakukan selesai akuisisi. Hidayat menilai masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, seperti menentukan rencana bisnis ke depan dan mendengarkan aspirasi daerah.
Inalum merupakan kontrak kerja sama antara Indonesia dan NAA. Kontrak tersebut akan berakhir 31 Oktober 2013. Saat ini 58,8 persen saham Inalum masih dimiliki NAA, sedangkan Indonesia menguasai 42 persen.
Setelah dikuasai penuh Indonesia, diharapkan Inalum bisa melakukan penawaran saham perdana (initial public offering/ IPO) untuk mendapatkan dana. Dana tersebut akan digunakan untuk peningkatan kapasitas produksi alumina. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA