Pakar survei di Sumut, Ir Ramses Simbolon MSc, menyebut, hasil dan metodologi survei di Sumut memang harus diuji. Hal itu dipandang perlu misalnya terkait kecukupan data, kenormalan data dan sebagainya.
"Untuk kasus penarikan kesimpulan berdasarkan 'sample', maka persyaratannya adalah, bahwa 'sample' yang digunakan harus mengikuti tahapan uji kecukupan data yang merupakan fungsi dari tingkat keyakinan dan ketelitian. Yang berarti main tinggi ketelitian dan keyakinan, maka jumlah data makin besar," papar dosen statistik di Unika St Thomas ini dalam siaran persnya yang diterima MedanBagus.Com, beberapa saat
Selanjutnya, kata dia, adalah tes kenormalan data.
"Untuk hal ini, salah satu alatnya dengan peta kontrol yang mempunyai batas atas, garis pusat, dan batas bawah. Contohnya, bila tiga dari lima data berurut berada pada satu wilayah, maka data diganti. Selanjutnya, bila lima dari delapan data berurut berada pada satu wilayah, maka data diganti. Ini adalah sebagian ketentuan yang perlu dipenuhi untuk menghindarkan kesimpulan yang bias," katanya.
Dia mendukung pernyataan aktivis sosial dan politik, Raya Timbul Manurung yang menyebutkan metode 'sampling' yang digunakan salah satu lembaga survei tidak akurat, karena tidak memperhitungkan adanya zonasi wilayah berdasarkan suku dan keagamaan.
"Kita paham, Sumatera Utara sangat berbeda dengan DKI Jakarta, baik dari penyebaran penduduk, maupun kondisi sosial, dan latar belakangnya, termasuk soal kesukuan dan lain sebagainya. Sehingga penerapan survei di kedua daerah itu jelas-jelas sangat berbeda. Di Sumut, sebuah daerah akan cenderung berpihak kepada calon tertentu. Misalnya, kabupaten yang dominan Kristen, maka mayoritas cenderung ke ESJA dan Amri RE (total 13 kabupaten). Kabupaten yang dominan Mandailing Islam, mayoritas cenderung ke Charly dan GusMan (5 kabupaten/kota)," papar alumni Teknik Geologi UGM ini. [ans]
KOMENTAR ANDA