Pertama, seniman apatis. Mereka adalah seniman yang tidak mau tahu dengan lingkungan sekitarnya. Mereka terus berkarya dengan mengabaikan apakah tempat dia berkreasi terus didera masalah. Sikap apatis karena tempat berkesenian itu di bawah langit dan di atas tanah. Istilahnya, biar langit runtuh bumi gonjang-ganjing, yang penting terus berkesenian. Mereka sering mengabaikan wilayah politik kesenian karena bagi mereka kesenian tidak bisa dicampuradukkan dengan politik. Mereka dibutuhkan saat kekuasaan memberi ruang yang besar bagi kreatifitas kesenian dan ketika ruang kreasi tidak diganggu kekuasaan.
Kedua, seniman kutu loncat. Namanya sudah kutu loncat jadi mereka akan gampang bermetamorfosis dalam situasi apapun. Jika kesenian berkembang, maka merekalah yang paling depan dan lantang berteriak : saya seniman! Jika kesenian meredup, mereka juga akan berteriak bahwa itu karena senimannya tidak kreatif. Model seniman seperti akan sangat gampang diarahkan asal ada ada titik kejelasan soal finansial. Istilah orang Medan, asal jelas pucuknya, senimanlah mereka. Seniman seperti ini bisa muncul di mana saja. Bahkan seniman model ini bisa tiba-tiba mengaku bukan seniman ketika kesenian tidak menyediakan ruang untuk mereka bertahan untuk urusan uang. Kutu loncat dengan bunglon hampir sama. Beda nama tapi kelakuan sama. Jangan heran jika seniman bunglon jumlahnya bisa tiba-tiba banyak ketika kesenian dianggap mendatangkan keuntungan besar. Untuk model seniman seperti ini, syaratnya paling gampang karena cukup hanya menulis satu puisi di media cetak dan kemudian dibaptis sebagai seniman
Ketiga, seniman mendadak dan mendadak seniman. Seniman jenis ini paling gampang ditemui di kantong-kantong kesenian, tidak terkecuali di TBSU. Bahkan untuk jadi seniman model ini syaratnya paling mudah. Mereka akan sangat bersemangat bicara kesenian ketika sesuatu itu dianggapnya menguntungkan dia secara pribadi. Suaranya bahkan mengalahkan aktor-aktor panggung yang sudah selesai dalam teknik olah vokal. Seniman seperti ini dengan gampang mewujudkan jati dirinya karena mereka yakin bahwa kesenian itu adalah abstrak. Siapa saja bisa jadi seniman. Tidak ada ukuran penciptaan kreatifitas. Karena syarat jadi seniman seperti ini mudah, maka ketika Musyawarah Seniman Medan digelar baru-baru ini, mereka seolah-olah orang yang paling mengerti tentang kesenian.
Keempat, veteran seniman. Mereka disebut veteran karena tidak lagi bertempur. Mereka sudah pensiun dari proses kreatif. Model seniman seperti ini mirip sebuah kisah sejarah perjuangan. Di dalam medan pertempuran awal mereka adalah pasukan garda depan. Nama mereka menghiasai berbagai buku sejarah, sering disebut-sebut dalam berbagai even kesenian dan karya mereka sering dianalisis. Mereka juga sering dimintai fatwa-fatwa tentang kesenian. Di saat-saat genting, kehadiran mereka dibutuhkan. Seniman seperti ini diperlukan nasehatnya karena mereka dianggap terlebih dahulu makan asam garam kesenian. Seniman seperti ini tidak jarang bertindak di luar jalur komando. Karena tidak lagi berkreasi maka seniman model ini selalu melihat ke belakang. Alhasil, model seniman seperti ini terkadang juga membuat jengkel karena doktrin mereka sering menyesatkan.
Kelima, seniman politik. Model seniman seperti ini gampang terbakar emosi jika sebuah kesenian diganggu oleh mereka yang bukan seniman. Jenis seniman seperti ini ruang geraknya terbatas karena kecenderungan mereka tidak suka berkelompok. Mungkin karena sikap kritis tersebut model seniman seperti ini sulit beradaptasi dengan seniman lain. Model seniman seperti ini biasanya sangat menyukai isu-isu politik kesenian. Mereka terlatih mengorganisir massa untuk perjuangan kesenian. Karena model seniman seperti ini jumlah sedikit maka tidak jarang mereka perlu bekerja keras memberi kesan positif atas segala yang hendak diperjuangkan. Sayangnya seniman seperti ini selalu curiga pada siapa pun sehingga ruang geraknya menjadi terkotak-kotak.
Keenam, seniman proyek. Jenis seniman ini mungkin paling banyak berkeliaran di kantong-kantong kesenian di Medan. Mereka memang bertujuan untuk menjadikan setiap aktivitas kesenian sebagai proyek. Model seniman seperti ini cenderung mudah tergiur dengan proyek kecil atau istilahnya ’proyek tak seberapa.’’ Mereka ini bahkan juga sering digolongkan sebagai seniman proposal. Pantang ada kegiatan berbentuk seni, dia yang paling bersemangat. Tidak jarang seniman seperti ini rela mengorbankan orang lain asal keinginan pribadi dia tercapai. Dalam aktifitas seni, misalnya pementasan teater, seniman seperti ini tidak perduli dengan kualitas. Mereka tidak perduli apakah model pertunjukannya bagus atau tidak. Apakah ada penonton atau tidak, yang penting bagi mereka ada kegiatan kesenian yang dibuat dan mereka bisa mencari dana dengan cara-cara mereka sendiri.
Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Yulhasni bilang politik dan kesenian jarang bersentuhan tetapi tetap menyisakan ruang yang pas untuk masuk ke dalamnya. Ruang itu kini telah tersedia ketika wacana Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) menyentak kesadaran kolektif seniman Medan.
"Bola salju dari Walikota Rahudman itu menimbulkan arah politik seniman yang beragam variasi dan jumlahnya," kata penggiat seni, Yulhasni kepada MedanBagus.com, Senin, (11/3/2013).
Mengapa arah politik, menurut pendiri Teater O Universitas Sumatera Utara (USU), ini uraiannya itu mengkaji berdasarkan beberapa fakta yang terjadi, terlihat, dan terdengar, terutama pasca bergulirnya isu ruislagh TBSU dan seperangkat pernyataan Walikota Medan Rahudman Harahap terkait keberadaan TBSU.
"Mungkin model seniman tersebut akan bertambah seiring dengan makin susahnya memetakan seniman jika berhubungan dengan kekuasaan dan uang. Lantas di mana posisi anda wahai Seniman Medan!" kata Yulhasni yang aktif di Komunitas Diskusi Sastra FOKUS UMSU itu. [rob]
KOMENTAR ANDA