UU Pokok Agraria (PA) 5/1960 memang seharusnya direformasi. Meski sudah ada TAP MPR RI IX/2001 tentang reformasi agraria dan pengelolaan sumber daya alam (SDA), berikut UU sektoral agar mempunyai payung hukum yang tegas dan jelas untuk mengatur UU ESDM, Minerba, Kehutanan atau Transportasi.
"Selama ini, ada ruang di tengah yang tidak sempat diurus seperti pembatasan lahan, HPH (hak pengusahaan hutan), dan penguasaan tanah untuk usaha produktif masyarakat. Jadi, harus ada UU yang bisa menjembatani hal tersebut sebagai payung hukum," kata Ketua Panja Pertanahan DPR, Abdul Hakam Naja, dalam diskusi "Reformasi Agraria dan Kesejahteraan Daerah" di Gedung DPD/MPR RI, Jakarta, Rabu (6/3).
Dia melanjutkan, DPR berinisiatif merancang UU Pertanahan, dengan tetap menjaga berlakunya UU PA.
Hal itu tetap mengacu pada prinsip keadilan bahwa tanah merupakan hak rakyat yang bukan untuk dieksploitasi, dan untuk menyelesaikan berbagai konflik pertanahan lainnya.
Yang jelas, kata Hakam seperti dilansir Rakyat Merdeka Online, kuncinya ada di Presiden SBY untuk penyelesaian reformasi UU Pertanahan.
Mengapa? Sebab, untuk konflik tanah yang melibatkan TNI/Polri dan pemodal besar, tanpa keterlibatan presiden sebagai panglima tertinggi, maka persoalan tak akan pernah selesai.
"Selanjutnya, perlu membuat format yang jelas dan tegas, semisal dilakukan melalui mediasi, dan harus ada putusan secara administratif kepemilikan pertanahan karena banyak kasus yang setelah dicek di BPN tidak tercatat," tegas Hakam.
Menurutnya, itu kerja besar yang harus dimulai dari sekarang. Kalau tidak, kata Hakam, negara ini bisa karam dan rakyat makin terpinggirkan.
Demikian pula untuk pemerintah daerah harus memiliki UU Pemda yang khusus mengatur pertanahan di daerah, agar tidak terjadi komplikasi kasus tanah dengan pemerintah pusat, sesuai UU 22/ 1999 tentang Pemerintahan Daerah. [ans]
KOMENTAR ANDA