post image
KOMENTAR
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Sumatera Utara, melepas 77 ekor satwa liar Tringgiling di Hutan Lindung Sibolangit, Jumat (1/3/2013). Selebihnya dilepas ke penangkaran di Binjai. 129 Tringgiling hasil tangkapan dari bea cukai Belawan beberapa hari yang lalu.

Kepala Balai Besar Sumber Daya Alam Prov Sumut, Ir Istanto mengatakan, populasi Trenggiling di Sumut saat ini ada lebih 1000 ekor. Dimana populasi yang terbesar ada di beberapa tempat observasi, seperti Aceh dan Riau. Jika di Indonesia, jumlahnya mencapai ratusan ribu ekor.

"Yang paling banyak itu di Kepulauan Karimun, mencapai 40 ribuan. Kemudian ada juga di Leuser," ujarnya.

Dia menyebutkan, dari sejumlah hewan langka yang ada di Sumut, Trenggiling menjadi satwa yang paling sering diselundupkan. Jalur penyelundupan yang paling sering dipakai yakni, Aceh dan Riau.

"Dari Harimau ataupun Gajah, Trenggiling menjadi hewan yang paling sering diselundupkan. Pintu masuknya dari beberapa wilayah Sumut, seperti Aceh, Riau dan Jambi. Terkadang ada juga yang diselundupkan melalui Sumbar, namun tidak terlalu sering," ungkapnya.

Istanto mengungkapkan, populasi Trenggiling yang paling banyak dapat ditemui di Leuser. Bahkan, jumlahnya pun belum sempat dihitung. Istanto menyebutkan, selain berkahasiat untuk kosmetik dan bahan baku sabu-sabu, kenikmatan daging Trenggiling dan nilai jualnya yang tinggi menjadikan Trenggiling kerap diincar dan diselundupkan ke negara luar.

"Sisiknya untuk kosmetik dan bahan sabu-sabu. Kemudian untuk obat-obatan dan dagingnya untuk di sup. Kisarannya, kalau satu ekor dapat dijual mencapai Rp5juta di negara luar," bebernya.

Istanto menyebutkan, dari pemeriksaan yang dilakukan, para penyelundup mengakui kalau di Medan, pihak penyelundup memiliki pengepul.

"Dari pengepul, kemudian dikuliti lalu dikirim ke Singapura, Cina dan Hongkong. Dagingnya di sup dan sangat diminati di Cina. Pengolahannya kalau tidak di Medan di Jakarta. Paling sering para penyelundup ditangkap melalui jalur laut," sebutnya.

Dia menyebutkan, para penyelundup kerap memakai jalur laut karena sulit dideteksi. Terkadang, para penyelundup juga menggunakan kapal tongkang.

"Kita berharap para pelaku penyelundupan Trenggiling sadar akan kelakuannya. Trenggiling ini hewan yang dilindungi dan dia merupakan rantai makanan yang sangat penting. Jika Trenggiling menipis, rayap dan semut semakin banyak," ujarnya.

Istanto menyebutkan, di dalam Undang-undang juga sudah diatur hukuman bagi para penyelundup Trenggiling. Yakni, UU No 5 Tahun 1990 tentang observasi dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara dan maksimal denda Rp200 juta.

"Kita terus melakukan pengawasan di sejumlah perbatasan. Kita berharap kedepan tidak ada lagi Trenggiling yang diselundupkan demi kelangsungan mata rantai hewan," pungkasnya. [rob]

Bank Sumut Kembalikan Fitrah Pembangunan, Kembangkan Potensi yang Belum Tergali

Sebelumnya

Berhasil Kumpulkan Dana Rp 30 Juta, Pemkot Palembang Sumbang Untuk Beli APD Tenaga Medis

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Ragam