Akademisi Universitas Lampung, Dr Wahyu Sasongko SH MH, menilai terpidana korupsi lebih memilih dipenjara daripada harus mengembalikan kerugian negara.
Akibat dakwaan jaksa tidak tajam, dengan tidak menyebutkan pasal pencucian uang, sehingga terpidana akan lebih memilih dipenjara daripada harus mengembalikan uang hasil korupsinya, kata Wahyu, pada diskusi publik di kantor LBH di Bandarlampung, Rabu, seperti dilansir Antara.
Dia mengemukakan, perilaku terpidana itu tidak lepas dari jaksa yang kurang tajam dalam menyusun dakwaan, dan negara juga dinilai sudah tidak konsisten dalam penegakan hukum terkait penanganan tindak pidana korupsi.
Dalam diskusi yang digagas oleh LBH Bandarlampung dan BEM Universitas Lampung (Unila) itu, doktor yang dosen pascasarjana Fakultas Hukum Unila itu menjelaskan, dalam beberapa perkara di Lampung seperti kasus korupsi mantan Bupati Lampung Tengah Andy Achmad Sampurnajaya, Komisaris Utama BPR Tripanca Setiadana Sugiharto alias Alay, dan mantan Bupati Lampung Timur Satono, jaksa kurang tajam dalam menyusun dakwaan karena hanya mendakwa dengan pasal-pasal korupsi.
"Dalam kasus yang menjadi polemik dan menyita perhatian masyarakat itu, jaksa kurang tajam menyusun dakwaan karena hanya berdasarkan pada UU tindak pidana korupsi saja padahal kita punya UU Tindak Pidana Pencucian Uang," kata dia pula.
Wahyu mengemukakan, dalam Pasal 18 ayat 1 huruf b UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai dasar hukum ganti rugi pidana, uang pengganti tidak tergambar uraiannya dalam surat dakwaan, sehingga tak mendasarkan pembuktiannya di persidangan dan otomatis juga dalam surat tuntutan.
Dalam dialog ini, Perwakilan Koordinator Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung B Purba mengatakan, fungsi kejaksaan tidak bisa mengartikan secara apa adanya, dan ketika keputusan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak langsung bisa eksekusi karena harus diuji dulu.
Dia menjelaskan, instrumennya berdasarkan hukum perdata dan tata usaha negara (datun) supaya jelas jika aset itu miliknya.
Menurut dia, paling penting adalah menguubah cara berpikir bagaimana menyita aset pelaku korupsi untuk negara.
"Berdasarkan UU TPPU saya kira itu yang paling jelas dengan pembuktian terbalik. Kalau tidak dapat dibuktikan, artinya patut kita duga itu hasil kejahatan," kata dia lagi.
Menurut dia, pemaksaan eksekusi pada objek yang tidak jelas mengakibatkan terpidana merasa dihukum dua kali, apabila hartanya yang bukan berasal dari tindak pidana korupsi diambil oleh jaksa eksekutor.
"Jika tetap dipaksakan, bisa berpotensi sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Terpidana pun dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hukum perdata tersebut," ujar dia.
Ia menjelaskan, berbicara subsider artinya alternatif hukuman setinggi-tingginya dari hukuman pokok.
"Tapi itu menyiksa namanya, sehingga harus dilihat juga ukuran hukumannya layak atau tidak," kata dia. [rob]
KOMENTAR ANDA