Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai kontrol laju kerusakan lingkungan hidup oleh pemerintah masih rendah.
“Ini masih menjadi kelemahan negara dalam mengontrol dan menindak tegas pelaku kerusakan lingkungan,” ujar anggota BPK Ali Masykur Musa di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurut dia, penindakan hukum terhadap pelaku kerusakan hutan oleh penegak hukum masih sangat lemah. Padahal hukum adalah instrumen penting agar negara bisa mendorong setiap stakeholder untuk bersama mematuhi peraturan yang ada. Sebab itu, perlu tindakan tegas dari penegak hukum.
Ali Masykur mengatakan, kini hutan Indonesia sudah mengalami deforestasi (penggundulan) dan alih fungsi lahan yang memprihatinkan. Jika ini dibiarkan akan memberikan dampak buruk bagi lingkungan.
Banyaknya lahan perkebunan dan pertanian yang berubah fungsi jadi pertambangan dan rusak juga akan mengganggu target swasembada pangan pemerintah dan menyebabkan ketergantungan impor pangan.
Menurut dia, pihaknya juga terus melakukan audit terhadap kerusakan lingkungan. Bahkan, auditor pemerintah itu masuk dalam kelompok kerja audit lingkungan dari Supreme Audit Institusi (SAI) atau INTOSAI Working Group on Evironmental Audit.
Audit lingkungan menyangkut empat poin. Pertama, tata ruang atas penggunaan sumber daya alam (SDA). Kedua, proses izin atas penggunaan lahan termasuk analisi mengenai dampak lingkungan (Amdal). Ketiga, hak negara atas konsesi yang diberikan negara kepada swasta maupun badan usaha milik negara (BUMN) dan keempat pengelolaan pasca tambang.
“Teknik yang kita lakukan adalah menggunakan teknologi geographical information system (GIS) dan Global Positioning System (GPS),” jelasnya.
Ali Masykur juga mengaku segera melaporkan 15 perusahaan tambang nasional ke polisi. Pasalnya, 15 perusahaan itu terbukti melakukan pelanggaran dan menyebabkan kerusakan lingkungan.
Peneliti Institut Hijau Selamat Daryono mengatakan, audit lingkungan memang perlu dilakukan karena saat ini kerusakannya sudah parah. Ditambah dengan banyaknya perusahaan tambang yang berada di hutan-hutan lindung yang izinnya dikeluarkan pemerintah daerah.
“Sekarang tinggal kemauan pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup untuk menghentikan kerusakan lingkungan,” katanya kepada Rakyat Merdeka.
Dia juga menyayangkan tidak sinkronnya kebijakan antara Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Jika dibiarkan, kerusakan lingkungan akan semakin parah dan menyebabkan banyak bencana seperti banjir dan longsor.
Sebelumnya, Kementerian Kehutanan mengungkapkan akibat kegiatan illegal logging atau pembalakan liar negara ditaksir mengalami kerugian triliunan rupiah. Sejak 2004-2012 terjadi 2.494 kasus pembalakan liar untuk lahan perkebunan dan pertambangan ilegal dengan potensi kerugian negara dari illegal logging mencapai Rp276,4 triliun. [Harian Rakyat Merdeka/ans]
KOMENTAR ANDA