DPR RI cenderung lebih menyetujui pengurangan nol pada rupiah atau redenominasi dilakukan usai Pemilu 2014.
"DPR cenderung redenominasi dilakukan pemerintah yang baru. Kalau dilakukan sekarang kesan politisnya kuat sekali," kata Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Azis di Batam, Minggu (17/2).
Jika dimulai sekarang, lanjut dia, maka dikhawatirkan program itu digunakan untuk kepentingan politik pihak tertentu. Apalagi ekonom mencurigai redenominasi dimanfaatkan untuk mencetak uang demi keperluan beberapa pihak dalam Pemilu 2014. Namun, jika dilakukan pemerintahan yang baru, redenominasi maka akan berjalan lebih bersih dari berbagai kecurigan.
Ia memperhitungkan redenominasi dimulai pada pemerintahan yang baru, yaitu Januari 2015, kemudian massa persiapan selama dua tahun yaitu hingga 17 Agustus 2017. Dan pada tahun ketiga pencetakan uang baru. Kemudian massa transisi uang lama dan baru sepanjang dua tahun.
"Pada 2019 mulai berlaku uang baru, pada pemerintahan yang baru lagi," kata anggota DPR daerah pemilihan Kepulauan Riau itu.
Harry mengatakan, dalam menyusun RUU tentang Redenominasi, maka pemerintah harus memperhitungkan tiga hal yaitu peningkatan inflasi pada masyarakat kelas bawah, presepsi masyarakat dan spekulan.
Redenominasi, kata dia, bisa memicu inflasi, terutama pada masyarakat kelas bawah. Misalnya saja, pada masa kini masih ada harga barang Rp. 900. Bila redenominasi maka akan dibulatkan menjadi Rp. 1.000 untuk kemudian nol-nyadibuang mnjadi Rp.1.
"Memang akan ada juga pecahan sen, tapi tetap pembulatan ke atas. Mungkin untuk masyarakat mampu tidak akan terlalu terasa. Tapi untuk kelas bawah terasa," kata dia.
Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan presepsi masyarakat yang khawatir dengan perubahan nilai mata uang.
Menurut dia, banyak orang yang punya uang di bank cenderung menukarkan rupiahnya ke dolar atau mengambilnya untuk membeli sesuatu yang dianggap nilainya lebih stabil.
"Kemungkinan masyarakat mentrasfer uangnya dalam bentuk lain,"kata dia. [ant/hta]
KOMENTAR ANDA