Forum Peradilan Rakyat membeberkan keterlibatan Boediono terkait kasus BLBI dalam kapasitasnya sebagai salah satu direktur Bank Indonesia saat itu. Boediono dinyatakan Mahkamah Agung terlibat dalam skandal perbankan tersebut bersama direksi BI. Yaitu, menyalahgunakan kekuasaan sewaktu menjabat direktur BI tahun 1997 yang menyebabkan kerugian negara Rp 18 triliun.
Aktivis FPR Erlangga menjelaskan, temuan Petisi 28 putusan kasasi MA nomor 979 K/PID/2004 dan putusan kasasi MA 981 K/PID/2004 (masing-masing tanggal 10 Juni 2005), terungkap dugaan kuat peranan Boediono dan kasus BLBI.
Disebutkan, tanggal 15 Agustus 1997, Boediono bersama dengan anggota direksi BI lainnya membuat keputusan dalam rapat direksi, yang isinya "Untuk mengatasi kesulitan likuiditas bank-bank yang disebabkan adanya penarikn pihak ketiga dalam jumlah besar sehngga terjadi saldo giro debet pada bank Indonesia, diputuskan untuk diberikan kelonggaran berupa fasilitas saldo debet sampai dengan gejolak yang mereda".
Sementara, pada 20 Agustus 1997, terlapor bersama-sama dengan anggota direksi BI lainnya telah memuat keputusan dalam rapat direksi yang isinya, "Dalam kaitannya dengn keputusan rapat direksi tanggal 15 Agustus 1997, dan mengingat kondisi likuiditas perbankan belum pulih, dimana salah satu bank mengalami penarikan dana pihak ketiga yang cukup besar ialah Bank Danamon, sehingga secara khusus direksi memberikan fasilitas penyediaan saldo debet bank tersebut demikian pula bank lainnya yang mengalami kesulitan likuiditas."
Erlangga menjelaskan, keputusan rapat direksi tanggl 15 dan 20 Agustus 1997 tersebut bertentangan dengan ketentuan pengenaan sanksi berupa penghentian sementara dari klring lokal terhadap bank yang tidak dapat menyelesaikan saldo debetnya pada bank Indonesia.
Rapat direksi tanggal 15 dan 20 Agustus 1997 telah menyimpang dari ketentuan surat keputusan direksi BI nomor 26/162/KEP/ir tanggal 22 Maret 1994 karena tidak dihadiri oleh Kepala Hukum dan Sekretarian BI atau pejabat yang ditunjuk selaku notulen, dan pelaksanaan rapat tidak didukung dengan daftar hadir rapat direksi dan risalah rapat direksi guna menentukan apakàh keputusan rapat direksi tersebut diputuskn lebih dari setengah anggota yang hadir.
Keputusan rapat direksi 15 dan 20 Agustus 1997 dijadikan dasar oleh Hendrobudiyanto, Heru Soepraptomo dan Paul Soetopo Tjokronegoro.
Adanyanya perbuatan tindak pidana korupsi sacara bersama-sama dan dilakukan sebagai perbuatan berlanjut, putusan kasasi MA no.979 K/PID/2004 dan putusan MA no 977 K/PID/2004 masing-masing pada tanggal 10 Juni 2005, telah menghukum Hendrobudiyanto, Heru Soepraptomo dengan pidana penjara 1,6 tahun dan membayar denda sebesar 20 juta.
Padahal, pada tanggal 21 Agustus 1997, Boediono bersama Paul Soetopo Tjokronegoro telah menyetujui dan atau memberikan fasilitas saldo debet PT Bank Harapan Sentosa, Bank Nusa Internasional, dan Bank Nasional
Menurut SK direksi BI 14/35/KEP/DIR/UPPB tanggal 10 September 1981 jo. SE no:22/227/UPG tanggal 31 Maret 1990 jo. SE no:28/169/UPG tanggal 5 Maret 1996 bank-bank tersebut seharusnya dikenakan sanksi 'stop kliring sementara." Perbuatan tersebut adalah tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan dilakukan sebagai perbuatan berlanjut, dan putusan MA no:981 K/PID/2004 tangal 10 Juni 2005 telah menghukum Paul Soetopo Tjokronegoro dengan hukuman 1,6 tahun denda 20 juta.
"Kami minta Presiden dan Kejaksaan Agung, menangkap dan mengajukan Boediono ke pengadilan atas tindak pidana yang dilakukannya," pungkas Erlangga, dalam Forum Peradilan Rakyat dalam pada cara gelar perkara "Keterlibatan Boediono Dalam Kasus BLBI" di Galeri Cafe, Taman Ismail Marzuki (Minggu,17/2).[rmol/hta]
KOMENTAR ANDA