Menurunkan Jokowi sebagai juru kampanye (jurkam) PDI Perjuangan bukan hanya terjadi di Pilgub Jabar saja, namun juga di Pilgub Sumatera Utara untuk pasangan cagub nomor urut 2, Effendi Simbolon-Jumiran Abdi.
Hanya saja, kebijakan partai yang ingin memanfaatkan popularitas Jokowi untuk mengangkat pamor kandidat gubernur tersebut dinilai keliru oleh sebagian pengamat.
"Apakah ini efektif, itu bergantung bagaimana persepsi masyarakat dalam memaknai hal tersebut. Menurut saya, saat ini, pemilih relatif lebih cerdas. Kandidat yang hanya memainkan skenario pencitraan pasti akan ditinggalkan," ujar pengamat politik USU, Faisal Mahrawa kepada MedanBagus.com, Sabtu (16/2/2013) malam.
Menurut Dosen Departemen Ilmu Politik Fisip USU itu, masyarakat Sumut bisa dikatakan unik. Tidak mudah untuk meng-kloning apa yang sudah dilakukan oleh Jokowi, juga bisa dilakukan oleh Effendi di Sumut.
"Apalagi karakter bawaan mereka juga sudah sangat kontras. Jokowi masih emoh menggunakan pengawalan di jalan raya, bahkan pada saat beliau sudah menjabat. Sementara Effendi Simbolon, belum menjabatpun sudah menggunakan pengawalan," beber Faisal.
Hal senada sebelumnya juga dikatakan pengamat Politik Fisip UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Saleh Partaonan Daulay.
Menurut tokoh pemuda Nasional asal Sumatera Utara itu, mengundang Jokowi untuk kampanye bagi tim Effendy Simbolon dinilai tidak begitu efektif dalam menaikkan citra Effendy Simbolon.
Pasalnya, para pemilih saat ini lebih cenderung untuk memilih figur calon daripada simbol-simbol partai dan juga tokoh-tokoh besar di belakangnya. Selain itu, kemenangan Jokowi di DKI Jakarta tidak bisa disimplikasi dapat memenangkan kandidat PDIP di wilayah lain.
"Faktor budaya, sosiologi, dan demografis penduduk di Sumut yang berbeda dengan DKI membuat kehadiran Jokowi tidak berpengaruh. Mungkin, warga Medan akan tertarik untuk melihat sosok Jokowi. Tetapi kehadiran mereka diyakini tidak bisa mengubah sikap dan pilihan politik mereka," pungkas Saleh. [ded]
KOMENTAR ANDA