Kebijakan redenominasi oleh Bank Indonesia dan pemerintah tidak ada urgensinya, tidak bermanfaat, dan merugikan daya beli masyarakat Indonesia. Kebijakan redenominasi patut diduga dilatarbelakangi keinginan memberikan kesan mata uang rupiah kuat sehingga jadi indikator keberhasilan ekonomi saat ini.
Begitu dikatakan ekonom senior DR. Rizal Ramli, saat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi XI DPR RI di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (28/1/2013).
Menurut dia klaim pemerintah redenominasi memiliki manfaat yang sangat banyak dan tidak sama dengan pemotongan uang (sanering) tidak didukung argumen empirik dan jelas tentang manfaat dari redenominasi. Redenominasi pada praktiknya merupakan paksaan inflasi atau force inflation. Daya beli golongan menengah ke bawah akan terpotong dengan adanya kenaikan harga-harga setelah mata uang baru diterbitkan.
Mantan Menteri Kordinator Bidang Ekonomi ini mencontohkan, untuk sebungkus kacang goreng seharga Rp 800 dengan uang baru nanti harganya akan disesuaikan menjadi Rp 1. Ini artinya sama saja menaikkan harganya sebesar Rp 200 mata uang sekarang.
"Inflasi yang dipaksakan ini akan terjadi serentak setelah pemberlakuan redenominasi," ujarnya.
RR, panggilan akrab mantan menteri Keuangan ini menambahkan, keinginan memiliki mata uang kuat salah kaprah karena yang terpenting adalah stabilitas mata uang. Jepang dan China justru sukses memacu pertumbuhan ekonomi dan industrinya karena dengan sengaja memilih kebijakan mata uang lemah (weak exchange rate policy). Kebijakan mata uang lemah secara tidak langsung melindungi ekonomi dalam negeri dan meningkatkan daya saing produk ekspor.
Dengan kebijakan ini Jepang berhasil tumbuh di atas 10 persen pada 1950-an hingga 1970, sementara China tumbuh double digit pada akhir 1980 hingga 2010.
"BI harusnya fokus pada tugas utamanya menjaga stabilitas moneter dan menurunkan net interest margin yang tertinggi di dunia dan selama ini gagal dilakukan BI," demikian RR. [dem/rmol/rob]
KOMENTAR ANDA