Pelaksanaan program penyederhanaan mata uang alias redenominasi bakal menelan biaya tinggi. Untuk mengongkosi kegiatan sosialisasi, perubahan sistem teknologi informasi (IT), dan pencetakan mata uang baru selama masa transisi enam sampai tujuh tahun ke depan dibutuhkan anggaran sebesar Rp 200 miliar.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Ronald Waas mengatakan, ada tiga tahapan melaksanakan redenominasi. Pertama, tahap persiapan. Pada tahapan ini kegiatan utamanya adalah penyusunan Rancangan Undang Undang (RUU) Redenominasi, rencana pencetakan uang dan pendistribusiannya.
Kemudian penyesuaian infrastruktur dan teknologi informasi sistem pembayaran, akuntansi dan komunikasi kepada seluruh lapisan masyarakat. Kedua, tahap transisi atau paralelisasi. Ketiga, tahap phasing out, yaitu saat dilakukan pengembalian mata uang rupiah lama dan seluruh transaksi menggunakan rupiah baru.
Pemerintah memang berencana menggunakan dua jenis rupiah saat masa transisi, uang yang saat ini berlaku dan uang baru di mana tiga angka nolnya dihilangkan. Sekalipun ada dua jenis rupiah yang beredar, Ronald memastikan tak akan menimbulkan inflasi. Menurutnya, jumlah uang yang akan dicetak tetap akan sama.
"Misalnya BI cetak 1 juta lembar Rp 100, nah saat transisi bisa dibuat 500 ribu cetakan lama dan sisanya cetakan baru. Jadi pesan ke Perurinya kan jumlahnya tetap," katanya, di Jakarta, kemarin.
Rencananya, persentase jumlah rupiah baru akan ditambah sedikit-sedikit, sampai pemberlakuannya bisa dilakukan secara keseluruhan.
Sampai saat ini pemerintah belum menetapkan berapa angka nol yang akan dibuang. Karena masih menunggu proses penerbitan Undang-Undang dan mendengar hearing dari masyarakat mengenai redenominasi.
Gubernur BI, Darmin Nasution menambahkan, tahap transisi menjadi tahapan penting dan rentan. Pasalnya, pada tahap ini, kedua mata uang, rupiah lama dan baru diberlakukan bersamaan.
Menurutnya, antara 2- 3 tahun periode awal, mata uang Rp 100 ribu akan disertakan dengan mata uang Rp 100 ribu lainnya yang gambarnya persis sama. Namun tiga angka nol terakhirnya dibuat samar ata dual price tagging.
"Ini untuk memudahkan masyarakat bertransaksi, baik dengan mata uang lama maupun yang baru. Dengan dual price tagging juga tercipta transparansi harga, sehingga proses monitoring dan peran aktif masyarakat untuk mengawasi pembulatan harga ke atas secara berlebihan," paparnya.
Saat ditanya kapan rupiah baru itu diterapkan, Darmin belum bisa memastikan. Sebab, masih membutuhkan landasan hukum yang kuat. "Saat ini telah dimasukan dalam prolaknas DPR." [rob/rmol]
KOMENTAR ANDA