Tanpa kita sadari bersama, berbagai ancaman terutama ancaman yang bersifat nir militer dan asimetris (tidak berpola) semakin banyak terjadi Indonesia. Namun, sangat disayangkan ketiadaan payung hukum yang mensinergikannya untuk mengatasi beraneka ancaman tersebut.
Beberapa contoh ancaman yang membuat situasi Indonesia semakin tidak kompetitif antara lain, rencana ribuan buruh Pertamina Cilacap yang mengancam akan melakukan mogok kerja, dimana hal ini jelas-jelas merupakan ancaman terhadap keamanan nasional, karena “yang memiliki hajatan dari rencana mogok kerja tersebut” sebenarnya kurang menyadari jika aksi mogok kerja tersebut dilakukan akan menyebabkan 400 ribu barel minyak per hari akan hilang dari peredaran termasuk avtur dan premium diesel, yang tentunya akan berdampak pada sektor penerbangan, perkebunan, transportasi dan lain-lainnya, tapi bagaimana tindakan kita untuk mengatasinya ? Semua instansi terkait baik K/L masing-masing tetap “berkilah” itu bukan urusan mereka.
Contoh berikutnya adalah adanya rencana aksi buruh besar-besaran pada pertengahan Januari 2013 menyikapi sekitar 908 perusahaan yang akan menangguhkan kenaikan UMP 2013 yang dinilai memberatkan dunia usaha apalagi ditambah dengan kenaikan TDL 15persen dan kenaikan gas industri 15 persen pada April 2013, dimana menghadapi ancaman ini muncul ancaman lainnya yaitu kalangan pengusaha terutama sektor padat karya seperti sepatu dan tekstil yang sudah melakukan PHK tanpa melapor kepada pemerintah.
Kalau kondisi ini dibiarkan terus menerus, maka hubungan industrial tidak akan menjadi baik, kondisi ekonomi vakum, pengangguran semakin menganga dan berimbas pada sektor keamanan dengan naiknya kriminalitas dan bentrok-bentrok massa horizontal dan vertikal, siapa leading sector yang harus berdiri di depan untuk mengatasinya ? Belum ada UU yang mengaturnya.
Ancaman lainnya adalah nilai tukar rupiah yang rawan mengalami pelemahan baik karena cadangan devisa yang kurang memadai atau dapat juga sebagai ekses currency wars (perang mata uang) yang tidak terdeteksi. Kemudian, ada sinyalemen yang menyatakan sekitar 72 UU yang terbit pasca reformasi lebih cenderung berpihak kepada kepentingan asing.
Belum lagi soal ancaman flu burung yang dinilai berbagai kalangan sebagai bioterorisme, namun tidak jarang ada yang menganalisis bahwa sebenarnya flu burung adalah isunya, sedangkan temanya adalah “daging mahal atau langka terkait adanya flu burung”, sedangkan skema atau exit strategy dari flu burung adalah “impor daging itik, ayam dll termasuk impor anti virus”, benarkah flu burung adalah bioterorisme ? Siapa yang harus didepan sebagai leading sector untuk menghadapinya ? Masih simpang siur.
Itu belum ditambah dengan model ancaman seperti terorisme, separatisme, dan konflik komunal, yang mana kadang-kadang pemerintah dianggap atau dinilai telah membiarkannya atau tidak melakukan tindakan yang signifikan untuk mengatasinya. Kenapa semua terjadi, karena belum ada UU yang mensinergiskan semua kegiatan menghadapi beragam ancaman tersebut.
RUU Kamnas sebagai sinergitas
Hampir semua negara memiliki UU Keamanan Nasional (Kamnas), hanya Indonesia yang belum memilikinya, padahal UU Kamnas sangat diperlukan sebagai “UU payung” dalam rangka menghindari pendadakan serta masalah yang akan dihadapi di kemudian hari akan semakin kompleks. Oleh karena itu, UU Kamnas diperlukan untuk mewujudkan stabilitas keamanan nasional, melalui pengelolaan keamanan nasional yang dilaksanakan seluruh perangkat negara dan komponen masyarakat melalui suatu pola penanggulangan ancaman secara terpadu, cepat, tepat, tuntas dan terkoordinasi.
Hakikat keamanan nasional merupakan segala upaya memberdayakan seluruh kekuatan secara bertahap dan terpadu untuk menciptakan stabilitas keamanan melalui suatu sistem keamanan nasional. RUU Kamnas ini akan mengatur mengenai penanganan ancaman keamanan yang selama ini belum diatur dalam UU yang sekarang ada.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam RUU Kamnas ini, peranan tokoh masyarakat sesuai dengan kompetensinya akan menjadi sangat penting dan strategis sebagai bagian dalam keanggotaan Dewan Keamanan Nasional (DKN) di tingkat pusat dan Forum Koordinasi Keamanan Nasional di tingkat daerah seperti yang tertuang dalam Pasal 19 RUU Kamnas yang menyebutkan adanya anggota tetap dan anggota tidak tetap.
Terkait dengan keberadaan DKN, maka masyarakat tidak perlu mengkhawatirkan akan seperti Kopkamtib pada era Orde Baru, karena DKN tidak mempunyai satuan tugas tersendiri, tidak menjalankan operasi kamtibmas atau penegakkan hukum, karena semuanya melalui sinergitas gerak semua komponen bangsa dibawah kendali Presiden dibantu DKN.
Sekali lagi, kemungkinan ide pemerintah untuk membuat UU Kamnas karena berkaca pada minimnya sinergitas antar aktor keamanan, sehingga diharapkan UU Kamnas mampu menjadi regulasi yang menjamin keamanan setiap warga negara dalam bingkai nilai-nilai demokrasi atau HAM yang dijunjung tinggi.
Kalaupun masih ada penolakan terkait dengan RUU Kamnas, sebaiknya disampaikan dengan melalui aksi-aksi dialog atau seminar atau FGD, bukan melalui aksi-aksi unjuk rasa anarkis yang dapat mengarahkan negara ini dalam situasi “draconian state atau negara drakula”, apalagi draft RUU Kamnas ini masih perlu disempurnakan agar sesuai aspirasi masyarakat dan masih ada kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan masukan (apalagi menurut mantan Menpora, Hayono Isman masih ada beberapa pasal krusial yang menjadi poin perdebatan selama ini antara lain pasal 14 ayat 1 tentang status darurat militer, pasal 17 ayat 4 tentang ancaman potensial diatur oleh PP, pasal 22 ayat 1 tentang pelibatan intelijen, pasal 27 ayat 1 tentang Panglima TNI menetapkan kebijakan operasi, pasal 30 tentang penggunaan TNI dalam tertib sipil, pasal 32 ayat 2 tentang komponen cadangan dan komponen pendukung).
Yang penting, masyarakat tidak mencurigai RUU Kamnas ini sebagai UU untuk menyelamatkan rezim sekarang ini pasca habisnya masa tugasnya, namun regulasi ini memang diperlukan untuk mengatasi beragam ancaman ke depan. Kalau memang RUU Kamnas berpotensi menjadikan Indonesia sebagai “negara drakula” maka kita memiliki civil society, pers dan DPR/DPD yang semakin kuat. RUU Kamnas bagaimanapun tantangan bagi pilar-pilar demokrasi ini untuk mengawal, mengawasi dan memanagenya agar UU Kamnas nantinya benar-benar dapat sebagai “pedang yang dapat menakuti musuh” bukan “pedang untuk memenggal rakyat sendiri). Semoga.
*) Penulis adalah pengamat intelijen.
KOMENTAR ANDA