Sidang lanjutan perkara korupsi penyewaan dua pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 dengan terdakwa Hotasi Nababan, kembali digelar Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (22/1).
Sidang beragenda pembacaan nota pembelaan atau pledoi dari terdakwa bekas Direktur Utama (Dirut) PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) itu.
Pledoi Hotasi berjudul "Kami Korban Kejahatan Orang Lain" setebal 30 halaman.
Di dalamnya, berisi kekecewaan Hotasi karena ditetapkan menjadi tersangka oleh Jaksa Agung Muda Pidana Khusus pada Kejaksaan Agung. Dia menuding perkara yang disangkakan kepadanya mengada-ada. Akibatnya, Hotasi galau. Sebab, anak, istri dan keluarganya sangat sedih mendengar kabar itu.
"Saya galau. Mengapa Pidsus Kejaksaan memaksakan perkara ini masuk pengadilan. KPK, Bareskrim, BPK, Jaksa agung Muda Tata Usaha Negara sudah menyatakan hal itu bukan tindak pidana korupsi," ujar Hotasi saat membacakan pledoinya.
Diterangkan, pledoi itu dibuatnya dengan kerja keras. Apalagi, di tengah masyarakat yang marah dengan korupsi.
Dijelaskan dia, keputusan penyewaan pesawat itu diambil secara kolektif kolegial dengan dewan direksi dan demi kepentingan perusahaan. Bahkan, keputusan penyewaan pesawat juga dilakukan penuh kehati-hatian.
"Jika kebijakan perusahaan bisa dipidana. Akibatnya, direksi BUMN makin lambat mengambil keputusan, ruang gerak terbatas, dan sebagian besar direksi tidak bisa tenang setelah pensiun," terangnya.
Sebab itu, lanjutnya, menjadi direksi di Badan Usaha Milik Negara(BUMN) tanpa gangguan sangat sulit. Jika suatu saat kebijakan perusahaan justru merugikan bisa dipidanakan.
"Hidup lurus di BUMN sulit. Setulus dan selurus apapun direksi, pada akhirnya mereka bisa menerima surat panggilan dalam amplop coklat buat suatu perkara," ujar Hotasi. [ald/rmol/ans]
KOMENTAR ANDA