"PEREMPUAN!" teriak Saiman diiringi tangisan kencang sang bayi. Seluruh orang yang hadir dan menyaksikan prosesi sebuah kelahiran di gubuk itu tak mampu menahan haru. Tangis pun membuncah. Suka cita disambut derai air mata. Sang ibu terkapar kelelahan setelah dua jam meregang bertaruh nyawa. Saiman mempertontonkan bayi yang masih merah dibungkus darah itu kepada sang ayah.
"Terima kasih, guru,"
"Terima kasih, guru,"
"Terima kasih, guru,"
Semua yang hadir tak henti-henti berucap syukur dan terima kasih kepada Saiman, guru terakhir yang tersisa di lembah ini.
"Suaranya lantang, lengkingannya telah membangunkan seisi alam," ujar Saiman sambil membersihkan sang bayi.
"Terima kasih, guru,"
"Terima kasih, guru,"
"Terima kasih, guru,"
Menjelang senja, sang bayi telah bersih dan siap disapih ibunya. Saatnya Saiman bersiap pamit kepada seisi rumah. Dibersihkannya noda darah yang masih menempel di lengan bajunya. Dibungkusnya buku-buku persalinan yang sempat dibacanya sesaat menyambut sang bayi keluar dari gua garba. Buku-buku itu disusun, dan dimasukkan ke dalam tas jinjing yang sarat oleh buku.
"Selamat. Anda sudah menjadi ayah. Bertambah tanggung jawab, bertambah berat," ujar dia seraya menyalami lelaki muda yang baru beberapa saat menjadi ayah.
"Bagaimana kami harus membalasnya, Tuan Guru?" tanya lelaki muda itu dengan suara memelas.
"Rawatlah bayimu. Berikan gizi yang cukup dan didiklah dia. Sudah. Jangan berpikir yang macam-macam. Aku tahu kau miskin. Kau tak perlu membayar apapun padaku," ujar Saiman sambil beranjak pergi meninggalkan gubuk reot yang sudah miring beberapa derjat itu.
Malam merambat. Bulan menyergap. Bintang-bintang mulai berkerlip. Suara binatang malam telah muncul dari balik kesuraman kelam. Saiman terus melangkahkan kakinya. Mengendap-endap dihindarinya sinar rembulan. Dengan awas dipasangnya mata setajam mungkin. Jantungnya berdebar tak pasti. Kadang setengah berlari dia lanjutkan perjalanan pulang.
Di dalam persembunyian, sekelompok pemburu berjubah tengah mengawasi. Di masing-masing tangan mereka menggenggam tombak dan pedang.
"Jelas perintahnya?" kata seorang lelaki dari balik malam.
"Tapi bagaimana bisa dipastikan?"
"Ini tugas rahasia negara. Jangan sampai gagal! Ini penting! Lebih penting dari kepalamu, goblok!"
"Siap komandan!"
"Tangkap dia hidup-hidup, walau apapun yang terjadi. Mengerti!"
"Daulat, Tuanku!"
Lantas gerombolan itu pun membubarkan diri. Menyebar untuk kemudian bersatu kembali membentuk sebuah formasi.
Saiman terus bergerak. Kuatir di hatinya kian menjadi ketika sekelompok pasukan berjubah hitam-hitam menggiringnya ke puncak risau malam.
"Menyerah atau mati!"
Saiman berhenti. Dipeluknya tas jinjing kulit buaya. Selangkah dia surut ke belakang. Namun terbentur tembok. Gerombolan itu terus mengacungkan pedang ke arahnya. Saiman angkat tangan. Tanpa perlawanan dia diseret menuju kegelapan.
Di sebuah tempat, malam tiba di tepi. Suara kokok ayam mulai terdengar bersahut-sahutan. Saiman terduduk ketakutan. Tangannya dibebat ke belakang. Wajahnya lebam-lebam.
"Jadi kau seorang guru?" tanya komandan penculikan. Saiman tak sanggup menjawab lagi. Nafasnya maju berhenti. Cuma ringisan yang dia berikan sebagai pengganti jawaban.
"Selain guru, kau juga bidan. Hebat... hebat...." sambung komandan disambung tawa penculik lainnya.
"Kau baca Perjanjian Lama. Kau baca banyak kitab tua. Kau juga baca Das Kapital? Kau baca Alice in Wonderland, Don Quichotte, Bumi Manusia, Iblis Tak Pernah Mati, Di Bawah Bendera Revolusi, kau baca Sarinah, dan juga baca Kamasutra? Hahahahaha..."
"Hahahaha"
"Hahahaha"
Para penculik itu terus membongkar isi tas jinjing Saiman. Semua buku dihamparkan begitu saja ke lantai.
"Tiga hal yang membawamu ke ujung maut. Pertama kau membaca buku, kedua kau seorang guru. Dan ketiga kau seorang bidan. Kau paham?"
Saiman menahan ngilu. "Bukan aku yang kalian cari. Sungguh kalian salah orang," ujarnya dengan nafas kembang kempis.
"Hahahaha, sayang kami tak membaca perjanjian lama! Kami tak menerima konsep mesias yang muncul seperti dalam dongeng Musa adalah bayi lelaki. Kau tahu? Itu artinya, kami tak akan mengotori tangan kami dengan nyawa bayi yang baru lahir. Tidak. Kami tak akan mengulangi sejarah lagi," papar komandan seraya bangkit mendekati Saiman.
"Negeri ini membenci pemberontakan. Negeri ini tak sudi darah terus mengalir dan membasahi tanah. Untuk itulah, kami di sini mengawal laju negeri. Tak kan kami biarkan seorang pembangkan lahir," lanjut dia.
"Aku bukan pemberontak. Aku guru honor yang dibayar lep..." sebuah tendangan mendarat di wajah Saiman. Dia terguncang ke belakang. "...dibayar lepas mengajar," lanjutnya dengan iringan tangis.
"Kami tetap tak akan mengotori tangan kami dengan darah bayi tak berdosa. Kami beradab, intelektual, dan bermoral. Kau lah target operasi kami yang terakhir. Sesaat kau mampus, negeri ini akan jauh dari pembangkangan untuk selama-lamanya. Tak akan ada lagi keberagaman. Semuanya berada dalam keseragaman. Negeri yang indah, dan hanya berjalan dalam satu perintah!"kata komandan penculikan sambil berlalu menghadap keluar jendela.
"Tapi, sungguh, aku tak mengajarkan hal-hal subversif kepada muridku, Tuan,"
"Dusta! Ini buktinya...” teriak komandan penculikan sambil berlalu dan mengambil sebuah buku yang berserakan di lantai. "penipu macam kau mestinya mampus di tiang guillotine."
Saiman diam terpana. Dia masih tak habis pikir kepada kebijakan pemerintah yang melarang aktifitas belajar mengajar dihapuskan. Dia tak paham, kenapa buku-buku tidak diperbolehkan beredar. Dia lunglai, duduk lesu di kursi introgasi dengan tangan yang dibebat ke belakang.
"Pembangkangan tak akan pernah terjadi tanpa ada yang membidani. Begitu pula, dalam sejarah Mesias manapun di bumi ini. Tak ada bakat alam. Tak ada pilihan Tuhan! Kau dan orang-orang sepertimulah yang bertanggung jawab atas semua darah yang tumpah karena pemberontakan! Kami tak membantai bayi. Tapi kami lenyapkan bidan yang membantu melahirkan mereka! Itu kepastian!" ujar komandan penculikan. Cadarnya menjuntai jatuh ke bawah dagu. "...sekarang kau tau siapa aku?" tanya dia kepada Saiman.
"Dajjal!" seru Saiman. Nafasnya nyangkut di kerongkongan.
"Benar! Kau pembaca yang baik! Kau bisa mengenalku, tidak seperti mereka yang telah kubantai!" sorak Dajjal diikuti jamaahnya yang hadir di sana. Saiman menahan gentar. Lututnya semakin keras bergetar. Dia kencing celana. Guru honor itu tak bisa lari dari ketakutannya.
"Apa yang kau mau dariku, Tuan Dajjal?"
"Jiwamu! Nyawamu!"
"Tapi percayalah, bukan aku yang kalian cari. Aku tak tahu apa-apa soal kedatangannya. Aku hanya membantu. Dan itu sesuai dengan profesiku,"
"Kau guru, kau bidan, kau membaca buku. Itu sudah cukup menjadi alasan bagiku untuk melenyapkanmu!"
Kemudian, kilauan pedang menyilaukan mata Saiman. Dia paham betul, sudah saatnya bagi dia melepas selembar nyawanya. Tak ada alasan untuk takut. Tak ada alasan untuk mundur. Sebelum akhirnya pedang Dajjal benar-benar memutus tali kehidupannya, Saiman berteriak keras... "Akan datang suatu jaman, dimana kebodohan akan dihapus seorang perempuan!"
Pedang berkelebat. Darah muncrat. Saiman melihat tubuhnya terduduk di kursi. Dia menggelinding di lantai. Mencium tanah dan berhenti di bawah kaki Dajjal.
Seratus tahun peristiwa itu berlalu, Dajjal berkuasa dalam kedamaian yang paling khidmat. Tak ada pemberontakan, meski rakyat berdiri di atas bayangan penjajahan. Tak ada pembangkangan meski rakyat dipaksa untuk hidup seragam. Kemiskinan diterima dengan lapang dada. Kebodohan dianggap hal sewajarnya. Pendek kata, Dajjal dicintai rakyatnya, karena cinta rakyat memang tak bisa berpaling ke siapa-siapa.
Di tengah riuhnya pembangunan, seorang nenek renta duduk di atas kursi roda. Matanya mengembara kemana entah.
"Jadi apa yang kita tunggu, Nek?" tanya Melur.
"Tunggu saja. Seperti Saiman menungguku, seratus tahun tahun lalu," ujar sang nenek menjauh dan berlalu ke arah jendela. "Kadang-kadang kita mesti menunggu untuk ditunggu," kata dia.
Di luar jendela, pasukan perempuan sudah lama bersiap mengambil alih kekuasaan. [***]
KOMENTAR ANDA