MBC. Kasus dugaan malpraktek di berbagai rumah sakit sering tidak tuntas secara hukum karena pimpinan rumah sakit selalu menutupi kesalahan dokternya.
"Buat apa bicara standar kedokteran dan itu tak dilakukan pihak RS? Buktinya masih terjadi malpraktek. Di sisi lain pihak RS selalu tutupi persoalan, memposisikan dokter kebal hukum," kata anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Golkar DPR, Endang Agustini Syarwan Hamid, dalam sidang Komisi IX DPR, di Senayan, Jakarta, Selasa (15/1).
Hari ini, Komisi IX DPR mengundang petinggi beberapa rumah sakit yang sering bermasalah dengan kasus dugaan malpraktik atau kesalahan prosedur penanganan seorang pasien yang dilakukan oleh dokter.
Yang memenuhi penggilan Direktur Jenderal Bina Usaha Kesehatan Kementerian Kesehatan, dr. Supriyantoro, Sp.P; Direktur RS Santa Elizabeth, Medan; Direktur RS Ibu dan Anak (RSIA) Dedari, Kupang, dan Direktur RS Medika Permata Hijau, Jakarta.
"Sanksi apa buat mereka yang lakukan malpraktek? Pihak RS harus pertanggungjawabkan secara moral. Dokter malpraktek tidak boleh kerja lagi," ujarnya.
Dia menyoroti khusus kasus di RS Santa Elizabeth Medan. Seorang ibu mendapat cidera kantung kemih saat dokter melakukan operasi pengangkatan rahimnya pada 2009. Ibu itu harus menggunakan selang kateter untuk buang air seni, di sisa hidupnya. Kabarnya kasus ini sudah ditangani Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dan dokter yang diduga malpraktek sudah dianggap bersalah.
Di sisi lain, dia kecewa pada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang sering tidak tegas ambil tindakan kepada dokter.
"Dokter kita harus seperti superman, tidak tersentuh hukum, tidak diberi sanksi tegas. Padahal sudah hilangkan nyawa manusia. Di tentara saja tak seperti itu," tegasnya.
Anggota Komisi IX lain, Okky Asokawati, tak kalah geram. Dia persoalkan, mengapa sidang-sidang kasus dugaan malpraktek dokter selalu dilakukan tertutup.
"Sudah saatnya sidang terbuka, terutama untuk bisa dihadiri keluarga korban," seru dia. [ald/rmol/ans]
KOMENTAR ANDA