Sumatera Utara kembali menjadi sorotan publik nasional, bahkan internasional. Namun bukan karena keindahan Danau Toba atau prestasi yang diraih. Tapi karena Sumut menempati urutan kedua terbanyak konflik kekerasan akibat persoalan lahan perkebunan sepanjang tahun 2012.
Menurut catatan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Sumut berada di urutan kedua, setelah Provinsi Riau, dengan hanya selisih satu peristiwa kekerasan. “Kalau di Riau terjadi sebelas kasus kekerasan sepanjang Januari-Agustus 2012 untuk subsektor perkebunan, maka di Sumut terjadi sepuluh kasus,” ujar Direktur Eksekutif Elsam, Indriaswati D.Saptaningrum di Jakarta, Kamis (10/1).
Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan. Apalagi dari total 59 peristiwa konflik masyarakat dengan perusahaan perkebunan, 45 kasus ternyata terjadi di Pulau Sumatera.
“Jadi berdasarkan pulau, kekerasan tertinggi terjadi di Pulau Sumatera. Karena selain di Riau dan Sumut, menurut catatan kita juga memerlihatkan ada 7 peristiwa yang terjadi di Lampung, kemudian disusul 6 kasus di Jambi, 5 kasus di Sumatera Selatan dan 3 kasus di Sumatera Barat,” ujarnya.
Sisanya terjadi 7 kasus di Kalimantan, 4 kasus di Pulau Jawa, 2 di Sulawesi dan 1 kasus di Papua. Menurut Indiriaswati, rata-rata bentrokan horizontal yang terjadi antara petani atau warga setempat, dengan buruh-buruh perusahaan perkebunan atau pasukan keamanan perusahaan, yang biasa di-back up aparat kepolisian atau aparat keamanan.
“Kekerasan fisik akibat konflik lahan ini menimbulkan 48 korban yang berasal dari petani atau warga, 14 korban dari polisi dan TNI, 29 korban dari pasukan keamanan perusahaan atau pamswakarsa, 11 orang dari pekerja perkebunan yang bukan merupakan keamanan perusahaan, dan 21 orang korban tak teridentifikasi atau tidak jelas identifikasinya,” ujarnya.
Korban-korban ini belum termasuk mereka yang ditangkap, kehilangan dan kerusakan harta benda, maupun yang mengalami kekerasan ekonomi karena tergusur dan kehilangan akses atas penghidupan.
“Dari data ELSAM, menunjukkan serangkaian konflik kekerasan akibat konflik lahan ini, korban terbanyak adalah warga petani, yang disusul dengan pasukan keamanan perusahaan/pamswakarsa,” ujarnya.
Temuan lain, Elsam mencatat perusahaan yang terlibat konflik perkebunan, mayoritas perusahaan swasta. Dari 44 perusahaan yang teridentifikasi, ada 39 perusahaan swasta yang terlibat dalam konflik lahan perkebunan. Sementara, perusahaan negara yang terlibat hanya ada 5 perusahaan. Yaitu PT.Perkebunan Nusantara (PTPN) II, PTPN IV, PTPN V, PTPN VII dan Perum Perhutani.
Selain dengan perusahaan, konflik lahan perkebunan menurutnya, ada juga yang melibatkan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Pusat Koperasi Angkatan Darat (Puskopad) ADAM V Brawijaya, dan Bandara Udara Mopah di Merauke, Papua.
“Konflik lahan masih terus terjadi, diantaranya akibat regulasi atau penegakannya. Misalnya UU Perkebunan, dalam Pasal 20, membolehkan pelaku usaha perkebunan melakukan pengamanan usaha perkebunan dengan melibatkan bantuan masyarakat di sekitarnya. Akibatnya, banyak pasukan keamanan perusahaan atau pamswakarsa yang terlibat dalam konflik dengan warga atau petani,” katanya.
Konflik juga marak terjadi, karena minimnya proses penyelesaikan sengketa yang adil. Sejumlah konflik yang terjadi pada masa lalu, dimana pengambilahilan lahan dilakukan dengan cara pemaksaan, belum dilakukan penyelesaian yang menyeluruh. “Konteks penyelesaian sengketa lahan yang bersumber dari pengambilalihan lahan masyarakat di masa lalu, hingga kini belum ada solusi yang memadai. Upaya penyelesaian, misalnya rencana pembentukan komisi khusus penyelesaian sengketa agraria, juga tak kunjung terwujud,” katanya.
Selain itu, sejumlah konsep tawaran penyelesaian menurut Indriaswati juga hingga kini belum diadopsi dan dijalankan. Disisi lain, terus diberikannya hak guna usaha (HGU) kepada perusahaan, tanpa mengindahkan hak-hak masyarakat yang terlanggar, akan memperbesar konflik.(gir/rob/jpnn)
KOMENTAR ANDA