Olahraga sepakbola perlu dijadikan mata pelajaran wajib bagi pelajar SD – SLTA. Dengan dimasukkan sebagai mata pelajaran wajib, sepak bola diharapkan dapat memunculkan spirit kerja tim (team building), fairness (berjiwa ksatria), menghindarkan nilai dualisme, fair play dan saling menghargai. Sehingga bagi anak didik yang menjadi tujuan bukanlah hasil tetapi proses menjadi seseorang yang berjiwa ksatria.
Demikian diungkapkan Rinto Subekti, anggota DPR Komisi 10 yang membidangi Pendidikan, Olah Raga, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Rabu (09/01).
Alasan Rinto mengusulkan sebagai mata pelajaran wajib karena sepakbola merupakan olah raga yang paling bermasyarakat di antara seluruh cabang olah raga yang ada. Namun demikian, perpecahan dalam tubuh PSSI dengan munculnya dua kelompok liga ternyata merupakan pelajaran yang tidak baik bagi anak-anak.
"Mau dikatakan politis ataupun tidak, perpecahan itu memunculkan contoh yang tidak baik bagi pelajar SD – SLTA terhadap olahraga itu sendiri dan sekaligus menghancurkan spirit ksatria yang harusnya dimiliki dalam olah raga itu," ujar Rinto.
Secara esensi, olahraga haruslah menghasilkan prestasi dan kepengurusan dalam kelompok olah raga adalah manajemen yang bertujuan membantu pencapaian prestasi itu. Untuk urusan sepakbola, Indonesia tidak memiliki prestasi apapun dan sekarang menjadi terpecah belah tidak karuan karena berbagai kepentingan.
Sepakbola di Indonesia berbeda dengan negara lain. Di Indonesia, klub sepakbola bisa menunjukkan superioritas kelompok daerah, suku dan atribut yang melekat padanya. Karena unik dan berbeda dari negara lain, manajemenen sepakbola Indonesia juga hendaknya juga harus bertanggung jawab atas para supporternya yang berlatarbelakang daerah, suku dan atribut.
Rinto menegaskan bahwa manajemen sebuah klub sepakbola harus memahami keunikan persepakbolaan Indonesia. Sehingga dapat dikatakan, sepakbola sebagai alat pemersatu bangsa.
"Ketika pemilik modal tidak memahami karakteristik ini, yang terjadi adalah persaingan antar pemilik modal untuk menguasai sepakbola sebagai alat kekuatan. Dan bahkan terdengar miring ketika sepakbola dijadikan sarana kepentingan terselubung. Yang muncul bukanlah prestasi tetapi adu modal, adu kuat dan lain-lain," jelas anggota DPR dari Dapil Jawa Tengah Empat, Wonogiri, Sragen dan Karanganyar ini.
Menurut Rinto, dalam kondisi kepengurusan sepakbola yang terpecah belah, Indonesia tidak mungkin akan berprestasi. Dikatakan bahwa pemerintah tidak boleh ikut campur dalam konflik antar Liga ini. Jika pemerintah campur tangan, akan terjadi pelanggaran atas statuta PSSI yang dibawah FIFA. Sebagai sanksi adalah PSSI tidak diakui oleh FIFA. Artinya, Indonesia tidak pernah akan berprestasi dalam panggung internasional.
Namun pada kenyataan, konflik PSSI tersebut tidak selesai, semua pihak merasa benar dan didukung oleh stakeholder. Artinya, untuk mencapai prestasipun sangat jauh atau bahkan tidak mungkin tercapai karena adanya dualisme PSSI dan KPSI (Komite Persepakbolaan Indonesia).
"Khan artinya, mau campur tangan pemerintah ataupun tidak, tetap tidak berprestasi. Lalu tragisnya, kapan kita akan dihormati bangsa lain dalam bidang olahraga?," tegas anggota DPR itu.
Sebagai akibatnya jika dualisme kepengurusan ini tidak segera diselesaikan, Rinto menggarisbawahi, generasi muda tidak akan memiliki prestasi apapun dalam dunia olahraga. Juga, akibat dari konflik dari berujung ini adalah tidak terbentuk karakter ksatria (fairness) dalam diri anak-anak yang sangat diperlukan untuk membangun sikap saling menghargai dan menghormati. [rmol/dem/rob]
KOMENTAR ANDA