Belajar dari kasus Bupati Garut Aceng Fikri, ternyata nasib perempuan Indonesia berada di tangan Mahkamah Agung (MA).
Demikian refleksi akhir tahun yang disampaikan Direktur Advokasi LBH Keadilan Halimah Humayrah Tuanaya kepada Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Kamis, 27/12).
Mengapa nasib perempuan di tangan MA. Halimah mengatakan, dalam kasus Aceng Fikri, Bupati Garut telah melanggar sumpah jabatan. Tak itu saja, juga melanggar Pasal 27 huruf b UU 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 2 UU 1/1974 tentang Perkawinan akibat pernikahannya selama empat hari dengan gadis di bawah umur, Fany Octora.
DPRD Garut mengusulkan agar Aceng diberhentikan sebagai Bupati Garut (Jumat, 21/12). Ironisnya, pemakzulan terhadap Aceng, tidak berujung di hasil Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Garut. Melainkan diteruskan ke MA pada Rabu (26/12) untuk diperiksa, diadili dan diputus oleh lembaga peradilan tertinggi ini.
Menjadi pertanyaan selanjutnya, kata Halimah, apakah MA sependapat dengan rekomendasi DPRD Garut, sehingga mekanisme pemakzulan terhadap Aceng dapat terus diproses, atau justru berhenti pada Putusan MA yang mengeluarkan putusan berbeda.
"Saat ini pemberhentian Bupati Garut Aceng HM Fikri berada di palu MA. Menjadi tantangan besar bagi lembaga itu untuk mempertimbangkan sekumpulan peraturan perundang-undangan tertulis, sekaligus menterjemahkan etika dan filosofi moral yang hidup di masyarakat," ujar Halimah.
Dari kasus Aceng tersebut, dia mengatakan, etika dan hukum kadangkala overlapped satu sama lain. Perilaku yang tidak etis sekaligus dapat juga tidak sah menurut hukum, namun adakalanya dapat dipandang sebaliknya.
"Apa yang ilegal mungkin dipandang etis, dan mungkin yang dipandang legal dipandang tidak etis," katanya.
Sementara ukuran etis antara kelompok manusia yang satu bisa berbeda dengan kelompok manusia lain, sekalipun dalam suatu masyarakat yang sama yang pluralistik. Hukum dan etika tidak atau belum tentu merupakan hal yang sama, namun antara keduanya saling memperkuat (mutual reinforcing) dan bersifat komplementer satu sama lain.
"Atas persoalan itu, tugas MA memeriksa dan memutus perkara Aceng Fikri bukanlah beban yang ringan, ada nilai-nilai etika yang tidak tertulis yang juga harus dipertimbangkan. Sebab, Das Recht ist nichts anderes als das ethische Minimum, hukum tidak lain dari minimum etis," tambah Halimah.
Menurut dia lagi, etika tidak hanya membuat orang mengetahui apa yang dapat diterima (acceptable), tetapi lebih jauh memberi penerangan kepada kita untuk memahami bahwa kita memiliki tanggungjawab (responsibility) terhadap orang lain.
Saat ini banyak pihak menantikan keputusan MA dalam memaknai perkara ini dan memberikan posisi bagi penghargaan terhadap perempuan. Namun jika lembaga itu tidak tak sependapat dengan rekomendasi pemberhentian Bupati Aceng HM Fikri, maka MAtelah membuka gerbang terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Mungkin akan banyak Fany Octora-Fany Octora lainnya.
"LBH Keadilan berharap agar Mahkamah Agung memberikan putusan sependapat dengan usulan DPRD Garut, agar mekanisme pemakzulan dapat dilanjutkan. Sehingga perempuan Indonesia dapat terselamatkan dari praktik kekerasan semacam ini, demikian Halimah. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA