SEMESTINYA mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono bisa langsung di-impeach atau dimakzulkan begitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua pejabat teras Bank Indonesia, BM dan SCF, sebagai tersangka dalam megaskandal pengucuran danatalangan senilai Rp 6,7 triliun.
Begitu yang dapat disimpulkan dari pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad di salah satu stasiun televisi kemarin (Selasa, 25/12).
Bagi sementara kalangan hal itu mungkin upaya cuci tangan karena belakangan ini KPK terus didesak publik untuk menuntaskan megaskandal yang melibatkan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani Indrawati dan anggota KSSK Boediono.
Bagi sementara kalangan lainnya, hal itu dinilai sudah tepat dan sepatutnya. Terutama Boediono dianggap sebagai pihak yang paling bersalah, karena inisiatif untuk menggelontorkan danatalangan berasal dari dirinya. Insiatif ini diperlihatkan dengan mengubah sejumlah Peraturan Bank Indonesia (PBI) untuk memberikan kemudahan bagi Bank Century mendapatkan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJPJ) dari BI.
Tokoh kedua yang memiliki kesalahan sama besar adalah Sri Mulyani yang sebagai Menteri Keuangan dan Ketua KSSK membiarkan proses penggelontoran danatalangan hingga membengkak menjadi Rp 6,7 triliun.
Terlepas dari pernyataan Abraham Samad kemarin, publik tentu masih mencatat dengan baik bahwa substansi dari apa yang disampaikan Abraham Samad sudah menjadi pembicaraan hangat di akhir 2009 hingga Maret 2010. Salah satu kesimpulan utama yang mengemuka kala itu adalah: Boediono harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Dan karena ia ketika kasus ini dibahas DPR RI sudah duduk di kursi Wakil Presiden, maka mekanisme yang digunakan untuk menuntut pertanggungjawaban Boediono pun harus disesuaikan dengan tata cara pergantian Wakil Presiden seperti yang diatur oleh UUD 1945.
Pasal 7A UUD 1945 mengatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR RI atas usul DPR RI apabila terbukti melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Karena dalam konteks megaskandal danatalangan Bank Century sejauh ini, yang dinyatakan bermasalah adalah Boediono, maka untuk selanjutnya kita akan fokus pada tata cara konstitusional untuk mengganti Wapres Boediono.
Menurut ayat (1) pasal 7B UUD 1945 DPR harus meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Wapres telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Wapres tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wapres. Setelah assessment dari MK itu dikantongi, maka DPR akan mengajukan usul pemakzulan Wapres ke MPR.
Ayat (2) pasal itu mengatakan bahwa pendapat DPR mengenai pelanggaran hukum yang dilakukan Wapres adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
Di ayat selanjutnya menjelaskan bahwa pendapat DPR mengenai pelanggaran hukum yang dilakukan Wapres itu harus dilakukan dalam Sidang Paripurna yang dihadiri minimal 2/3 anggota DPR dan disetujui minimal 2/3 anggota DPR yang hadir.
Ayat (6) menegaskan bahwa MPR wajib menggelar sidang untuk memutuskan usul pemberhentian Wapres itu minimal 30 hari sejak usul diterima. Sementara seperti tertulis di ayat (7), keputusan MPR memberhentikan Wapres hanya sah apabila sidang dihadiri minimal 3/4 anggota MPR dan disetujui minimal 2/3 anggota MPR yang hadir. Juga ditegaskan di dalam ayat itu, Wapres mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam rapat paripurna MPR.
Setelah MPR memakzulkan Wapres, maka dengan sendirinya kursi yang diduduki Boediono kosong. Tata cara pengisian kursi kosong itu diatur dalam ayat (2) pasal 8 UUD 1945.
Di ayat itu disebutkan bahwa dalam hal terjadi kekosongan Wapres, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Wapres baru dari dua calon yang diusulkan Presiden.
Kini publik kembali bertanya, lantas bagaimana? [guh]
KOMENTAR ANDA