post image
KOMENTAR
Ketika SBY baru terpilih sebagai Presiden RI tahun 2004 lalu, ekonom senior DR. Rizal Ramli pernah menjelaskan sebuah jurus yang bisa jadi amat jitu untuk mengurangi jumlah TKI yang dikirim ke luar negeri.

"Beliau (SBY) setuju. Tapi sampai sekarang tidak dilaksanakan. Padahal kalau dilaksanakan tahun 2004, tahun 2009 mungkin kita tidak usah mengirimkan TKI ke luar negeri lagi," ujar Rizal Ramli dalam perbincangan dengan Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Rabu, 20/12).

Hubungan SBY dan Rizal Ramli yang biasa disapa RR pada masa menjelang reformasi terbilang sangat baik. Di masa itu RR adalah penasihat ekonomi Fraksi ABRI di DPR RI yang dipimpin SBY. Adalah Rizal Ramli, misalnya, yang menyarankan agar Fraksi ABRI tidak menyetujui RUU Migas yang diajukan Mentamben Kuntoro Mangkusubroto ketika itu, karena sarat kepentingan asing dan memang dibiayai pemerintah Amerika Serikat.

SBY dan RR juga pernah sama-sama menjadi tulang punggung kabinet Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. SBY bertugas sebagai Menko Polkam dan RR sebagai Menko Perekonomian. Sebelum menjadi Menko Polkam, SBY adalah Menteri Energi dan Sumber Mineral. Sementara sebelum menjadi Menko Perekonomian, Rizal Ramli adalah Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog).

Keduanya sempat berpisah menjelang kejatuhan Gus Dur. SBY memilih menyelamatkan diri dan bergabung dengan Megawati. Sementara Rizal Ramli tetap setia menemani Gus Dur sampai kiai NU itu keluar dari Istana. Sebagai ganjarannya, SBY direkrut Mega menjadi Menko Polkam.

Namun begitu keduanya tetap menjalin hubungan baik. RR, misalnya, menghadiri sidang terbuka disertasi SBY tentang pembangunan kawasan perdesaan di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Setelah SBY memenangkan pemilihan presiden, salah satu ekonom yang kerap diajaknya bertukar pikiran adalah Rizal Ramli. Berbagai hal mereka diskusikan, termasuk mengenai cara terbaik mengurangi jumlah TKI.

Menurut RR dalam perbincangan tadi, harus dipahami bahwa Indonesia dan Malaysia sebagai salah satu negara tujuan TKI di era 1960an memiliki kondisi ekonomi yang relatif sama dengan Indonesia. Pendapatak perkapita masyarakat kedua negara sama-sama di bawah 100 dolar AS. Tetapi empat dasawarsa kemudian, tingkat kesejahteraan rakyat menengah bawah di Malaysia sebesar empat hingga lima kali dari Indonesia.

"Itulah kenapa banyak TKI kita yang kesana," ujarnya.

Menurut hemat RR, cara paling efektif untuk mengurangi jumlah TKI yang pergi ke luar negeri adalah dengan menciptakan lapangan pekerjaan di dalam negeri sebanyak mungkin.

"Misalnya, membangun jaringan kereta api di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan itu akan menghidupkan ekonomi Indonesia dengan cepat," kata pendiri Econit Advisory Group ini.

Selain proyek pembangunan padat karya, hal lain yang harus dilakukan adalah land reform yang terukur. Misalnya dengan membagikan tanah di luar Pulau Jawa kepada rakyat yang mau pindah plus cost of living, juga bantuan keuangan dalam mengelola lahan. Setelah berjalan lima tahun, misalnya, kelompok masyarakat transmigran seperti ini akan menjadi orang kaya baru.

"Kalau sudah begitu, mereka akhirnya tak mau sekadar menjadi tukang kebon. Mereka akhirnya perlu tenaga. Bukan tidak mungkin nanti kita panggil TKI dari Pakistan, Bangladesh untuk bekerja di kebon-kebon kita di Kalimantan dan Sulawesi," demikian RR. [rmol/hta]





 

PHBS Sejak Dini, USU Berdayakan Siswa Bustan Tsamrotul Qolbis

Sebelumnya

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN NELAYAN (KPPI) DALAM MENGATASI STUNTING DAN MODIFIKASI MAKANAN POMPOM BAKSO IKAN DAUN KELOR DI KELURAHAN BAGAN DELI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa