Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan pemerintah akan tetap berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan Satinah, seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dijatuhi hukuman mati di Arab Saudi.
"Pemerintah berusaha kuat, semaksimal mungkin, terutama melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) karena Kemlu yang berwenang untuk melakukan pendekatan ke keluarga korban, agar sesuai dengan harapan kita," kata Muhaimin di Jakarta, Senin.
Satinah, TKI asal Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, divonis membunuh majikan perempuannya, Nura al-Gharib, di wilayah Gaseem pada awal 2009. Pembunuhan dipicu karena Satinah sering dianiaya dan diperlakukan tak senonoh oleh sang majikan dan keluarganya.
Tidak hanya membunuh, Satinah juga menghadapi tuduhan pencurian uang majikan sebesar 37.970 Real Saudi yang diakui oleh yang bersangkutan sebelum melarikan diri ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).
Melalui vonis pengadilan syariah tingkat pertama hingga kasasi (2010), Satinah diganjar hukuman mati (qishash) karena terbukti melakukan pembunuhan berencana.
Dalam upaya mediasi untuk perdamaian dan pemaafan dari keluarga korban, tercapai upaya pemaafan dengan membayar diyat 500 ribu Real Saudi atau sekitar Rp1,25 miliar sebagai pengganti hukuman qishash.
Namun, pihak keluarga kemudian menaikkan besaran diyat tersebut menjadi 10 juta Real Saudi atau Rp25 miliar, sehingga persoalan ini melibatkan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan WNI/TKI Terancam Hukuman Mati di Luar.
Muhaimin menyebut permasalahan besaran diyat itu tidak perlu dibesar-besarkan karena memang merupakan salah satu hukum yang dimiliki Arab Saudi.
"Tentang besarannya tidak perlu diperdebatkan, yang penting pemerintah akan berusaha sekuat tenaga, karena kalau diperdebatkan tidak akan ketemu. Harapan saya agar tidak ada yang memanfaatkan peristiwa diyat ini, karena diyat sendiri memiliki hukum unik di Saudi Arabia," ujarnya.
Selain menggunakan dana yang dimiliki pemerintah, Menakertrans menyatakan akan melakukan pendekatan terhadap pihak swasta untuk ikut membantu dalam pembayaran diyat tersebut seperti dari pihak asuransi TKI.
"Dari segi UU keasuransian itu memang diluar kewajiban. Tapi kita harap dengan bantuan CSR (corporate social responsibility) atau bantuan-bantuan khusus diluar kewajiban dan sistem keasuransian, bisa dibantu," kata Muhaimin. [ant/hta]
KOMENTAR ANDA