Peningkatan jumlah remaja yang sangat signifikan bisa menyebabkan
transisi demografi yang semakin dahsyat. Dikhawatirkan, sebanyak 64 juta
remaja Indonesia rentan menghadapi kasus kawin muda.
Kini,
remaja di Indonesia punya berbagai masalah yang cukup pelik, mulai dari
masalah kawin muda hingga penyalahgunaan narkoba. Data Badan
Narkotika Nasional (BNN) tahun 2008 menunjukkan, jumlah pengguna
narkoba mencapai 115.404 orang.
Sebanyak 51.986 orang atau 45,04
persen dari total pengguna narkoba adalah berusia remaja (usia 16-24
tahun), pelajar bersekolah berjumlah 5.484 orang atau 4,75 persen,
mahasiswa 4.055 orang atau 3,51 persen.
Untuk kasus Human
Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS)
menunjukkan, hampir setengahnya, yakni 45,9 persen kasus berasal
dari usia 20-29 tahun. Data itu menunjukkan, usia remaja juga rentan
terkena HIV/AIDS.
Yang masih menjadi masalah saat ini adalah
bahwa usia kawin pertama di Indonesia pada perempuan baru mencapai 19
tahun. Padahal, usia kawin pertama perempuan diharapkan 21 tahun.
Karena itu, perencanaan keluarga sejahtera seharusnya dimulai sejak
remaja.
Sedangkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010,
tercatat ada 35 dari 1.000 remaja yang sudah pernah melahirkan.
Bahkan, usia rata-rata perkawinan wanita adalah 19 tahun.
Guna
menanggulangi persoalan remaja saat ini, Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terus menggalakan program
"Generasi Berencana (GenRe) Goes to School".
"Program GenRe
ini diharapkan bisa mencetak sosok motivator di kalangan remaja
untuk mengkampanyekan ke setiap sekolah," kata Deputi Keluarga
Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN Dr Sudibyo Alimoeso di
Jakarta, Kamis (13/12).
Program ini dimaksudkan untuk memotivasi
kalangan remaja, agar bisa memahami perlunya perencanaan Keluarga
Berencana (KB), kesehatan reproduksi remaja dan masih banyak lagi.
"Saya
rasa remaja dengan jumlah yang sangat besar, merupakan potensi sumber
daya manusia (SDM) yang harus diperhitungkan," ujar Sudibyo.
Karena
itu, katanya, para remaja mesti diarahkan dengan baik agar bisa
memasuki transisi kehidupan remaja ke depan sehingga mereka bisa
memiliki SDM berkualitas.
Menurut dia, ada lima transisi yang
harus dijalani remaja dengan baik. Pertama, menjalani pola hidup sehat.
Kedua, memperoleh pendidikan yang komprehensif. Ketiga, memperoleh
pekerjaan yang memadai. Keempat, membentuk keluarga yang sehat
sejahtera. Kelima, beraktivitas sosial dalam masyarakat dengan baik.
Selanjutnya,
mereka diberikan bekal yang cukup dan kesehatan reproduksinya dijaga
agar terhindar dari baby boomer, yang dapat memicu terjadinya ledakan
penduduk.
"Remaja perlu diberikan pemahaman tentang kesehatan
reproduksi sejak dini. Dengan pemahaman yang baik, mereka bisa
menghindari pernikahan dini dan hal-hal lain yang terkait dengan
kesehatan reproduksi," jelas Sudibyo.
Salah satu cara, katanya,
antara lain menggencarkan program GenRe, program generasi berencana
yang ditujukan untuk penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja yang
berkualitas. Kini telah terbentuk sekitar 16 ribu Pusat Informasi
dan Konseling (PIK) remaja dan mahasiswa.
Apa sih target program
GenRe Goes to School? Menurut Sudibyo, semakin banyak remaja
mengetahui tentang kesehatan reproduksi, membuat remaja bertanggung
jawab terhadap kesehatan reproduksinya. Indikator progress-nya,
adalah usia perkawinan meningkat, menurunnya jumlah anak pada pasangan
muda, terhindarnya kehamilan yang tidak diinginkan.
Bahkan saat
ini, perkembangan jumlah penduduk di Indonesia terus meningkat.
Berdasarkan sensus penduduk yang digelar pada 2010, BKKBN mencatat,
penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa. Laju pertumbuhan
penduduk sekitar 1,49 persen. Sementara pada 2012, penduduk
Indonesia sudah mencapai 245 juta jiwa.
Mencermati lonjakan
pertambahan penduduk tersebut, Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan dan
Informasi BKKBN Hardiyanto mengatakan, angka itu tergolong sangat
besar. Apalagi, tiap tahun tercatat sebanyak 3,5 sampai 4 juta bayi
dilahirkan. Angka itu seperti jumlah penduduk di Singapura. Jika
diibaratkan, setiap tahun, Indonesia membentuk satu negara
Singapura.
"Angka kelahiran yang besar tersebut belum diimbangi
kualitas sumber daya manusia yang baik seperti pendidikan yang tidak
tinggi, gizi yang kurang mencukupi, dan kesehatan yang minim," kata
Hardiyanto.
Alhasil, katanya, SDM tersebut menjadi tak
berkualitas bagi modal pembangunan nasional. Di masa mendatang,
pemerintah terus menekan laju pertumbuhan penduduk. Jika tidak,
Indonesia punya penduduk yang sangat besar tapi tak berkualitas.
Kewenangannya Diamputasi, BKKBN Kini Mati Suri...
Sejak
kebijakan otonomi daerah diberlakukan pada 2004, program Keluarga
Berencana (KB) seperti mati suri. Wewenang Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam menjalankan tugasnya
seperti diamputasi.
Deputi Bidang Advokasi Penggerakan dan
Informasi BKKBN Hardiyanto mengatakan, kebijakan program KB tidak lagi
dikendalikan pemerintah pusat, melainkan diserahkan ke pemerintah
daerah (Pemda) setempat. Akibatnya, kewenangan BKKBN seperti
diamputasi.
"Urusan KB sudah diotonomkan. Dampaknya apa? BKKBN
pusat ada, provinsi ada, tapi Kabupaten/Kota tidak ada lagi," kata
Hardiyanto.
Alhasil, kebijakan program KB sangat tergantung Pemda
tingkat II. Setiap daerah memiliki kebijakan berbeda-beda. Yang
menjadi persoalan saat ini, ledakan generasi muda juga diikuti dengan
ledakan penduduk lanjut usia (lansia), yang semula di bawah 5 juta
menjadi 20 juta jiwa.
Penanganan program KB tampaknya kurang
tepat. 10 tahun terakhir ini, terjadi kenaikan tingkat kelahiran dari
2,3 anak tahun 2000-an menjadi sekitar 2,6 anak tahun 2007-2009.
"Kondisi itu memicu laju pertumbuhan penduduk bukan seperti angka
rata-rata 1,49 persen selama 10 tahun, tetapi bisa 1,5, 1,6, bahkan
1,7 persen tiap tahun," ujarnya.
Pertumbuhan itu dipicu akibat
ledakan baby boomers yang menjadi dewasa, kenaikan penduduk lanjut
usia yang dahsyat, dan kenaikan kembali tingkat kelahiran di Indonesia.
"Semua
ini menjadikan masalah kependudukan di Indonesia bukan lagi hanya
maraknya kelahiran bayi, melainkan suatu ledakan penduduk
(population explotion) yang sangat berbahaya," tandas Hardiyanto.
[rmol/hta]
KOMENTAR ANDA