post image
KOMENTAR
Demokrasi menjadi tema yang selalu dibicarakan dalam berbagai kesempatan, tidak hanya oleh elit politik, tetapi juga oleh masyarakat awam. Persoalannya, sering kali apa yang dipahami sebagai sistem demokrasi tidak memberikan manfaat yang maksimal bagi rakyat.

Demikian antara lain disampaikan jurnalis senior Teguh Santosa ketika memberikan pengantar dalam diskusi bertema "Menyambungkan Demokrasi dan Kesejahteraan" yang digelar di Hotel Grand Aston City Hall di Medan, Sabtu siang (15/12).

Kegiatan yang diselenggarakan MedanBagus.Com itu dalam rangka peluncuran Teguh Democracy School. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu ekonom nasional yang juga mantan Menko Perekonomian DR. Rizal Ramli dan dosen FISIP Universitas Sumatera Utara (USU) Faisal Andri Mahrawa. Diskusi tersebut dihadiri puluhan aktivis mahasiswa dari berbagai universitas di Medan, seperti Universitas Sumatera Utara (USU), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumut, dan Institut Teknologi Medan (ITM).

Dalam pengantarnya Teguh mencontohkan desentralisasi pasca reformasi. Idealnya, desentralisasi dan otonomi daerah dilakukan untuk mendekatkan rakyat dengan pelayanan pemerintah. Tetapi pada praktiknya, sebut salah seorang ketua PP Pemuda Muhammadiyah itu, desentralisasi dan otonomi daerah justru melahirkan raja-raja kecil yang mengakumulasi kekuasaan politik dan ekonomi sementara di saat bersamaan mengabaikan kepentingan rakyat.

"Di banyak provinsi dan kabupaten/kota kita menemukan fenomena keluarga yang menguasai politik dan ekonomi. Misalnya di Banten dan di Lampung. Otonomi daerah juga diakali. Seseorang yang sudah tidak bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah karena sudah dua periode, pada periode berikutnya mendaftarkan diri sebagai wakil kepala daerah," kata pemimpin redaksi Rakyat Merdeka Online ini.

Teguh juga menyampaikan kekhawatirannya bila demokrasi yang tengah dikembangkan di Indonesia akan bergerak ke arah demokrasi prosedural yang menjadikan institusi-institusi politik sebagai ornamen penghias saja.

"Ini sama dengan yang kita alami di masa Orde Baru. Lembaga-lembaga demokrasi ada, seperti partai politik, parlemen, pemilihan umum, dan sebagainya. Tetapi pada praktiknya lembaga-lembaga itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya," ujar Teguh lagi.

Dalam kesempatan yang sama Teguh menjelaskan arti penting pers dan media massa di tengah sistem demokrasi. Seharusnya, pers berperan sebagai penopang sistem demokrasi karena pers yang sehat akan berfungsi sebagai agen yang ikut mengagregasi dan mengartikulasikan kepentingan publik, juga ikut menguji kualitas kebijakan pemerintah.

Tetapi belakangan masyarakat kecewa pada pers dan media massa, yang memiliki afiliasi dengan kelompok politik tertentu dan karenanya terlihat lebih memperjuangkan kepentingan patron politik dan bisnis kelompok itu. Di tengah kekecewaan, masyarakat mengalihkan perhatian pada media sosial yang bisa diakses dengan sangat mudah.

Tetapi, tanpa penghayatan yang memadai pada prinsip-prinsip dasar demokrasi, penggunaan media sosial akan membawa masyarakat pada jebakan baru yakni perdebatan yang involutif dan tidak berorientasi pada solusi.

"Dalam banyak kasus kita melihat bagaimana kebencian dan dukungan hanya di-copy and paste begitu saja tanpa kemauan untuk lebih jauh memahami persoalan. Demokrasi hanya diartikan secara sederhana sebagai perbedaan pendapat," demikian Teguh.

Teguh menyimpulkan bahwa elemen paling penting dalam demokrasi adalah rakyat. Tingkat pemahaman dan kedewasaan rakyat dalam politik akan menentukan bagaimana warna politik di sebuah negara. Rakyat harus dilibatkan dan melibatkan diri dalam demokrasi.

"Rakyat yang narsis akan melahirakan pemimpin-pemimpin yang narsis. Begitu juga dengan rakyat yang galau akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang galau," demikian Teguh.

Pengantar Teguh Santosa tersebut disikapi dengan serius oleh aktivis dan Presiden Mahasiswa dari berbagai kampus di Sumut yang menghadiri diskusi. Mereka sepakat dengan apa yang dikatakan Teguh Santosa. Bahkan mereka berpendapat, konsep demokrasi yang dijual oleh sekelompok elit politik selama ini hanyalah retorika dan pencitraan semata, yang menjual atas nama rakyat. Dan karenanya hal itu mesti dihapuskan.

"Jangan lagi menjual nama rakyat untuk menguras kekayaan negeri ini. Sejahterakan rakyat tanpa harus membodohi mereka dengan sistem retorika dan basa-basi yang tidak perlu, " tegas Ishak Purba, salah satu mahasiswa dari USU. [alf]

Bank Sumut Kembalikan Fitrah Pembangunan, Kembangkan Potensi yang Belum Tergali

Sebelumnya

Berhasil Kumpulkan Dana Rp 30 Juta, Pemkot Palembang Sumbang Untuk Beli APD Tenaga Medis

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Ragam