Ada masalah di internal KPK terkait penyebutan dua dua tersangka Skandal Bank Century. Sejak pertama kali Ketua KPK Abraham Samad menyebut dua nama Budi Mulya dan Siti Chodizah Fajriah di DPR pada 20 November, hingga kini belum ada surat perintah penyidikan kepada dua mantan Deputi Bank Indonesia itu.
Itu satu hal. Di samping panggilan yang belum juga dilakukan kepada keduanya, ada nuansa konflik di antara pimpinan KPK dalam penetapan dua nama itu menjadi pihak yang dimintai tanggung jawab pada kasus pengucuran Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) yang awalnya senilai Rp 689 miliar hingga bengkak jadi Rp 6,7 triliun. Walau, berkali-kali Samad menegaskan persoalannya cuma administrasi.
Masalah kedua adalah soal keterlibatan Boediono yang simpang siur. Samad kelihatan sangat bimbang kala beberapa kali menyebut peran mantan Gubernur BI, yang kini menjadi orang nomor dua republik itu.
Sekali waktu Samad menyebut ada keterlibatan Boediono. Di waktu lain, dia mundur ke belakang seperti menjilat ludah sendiri.
Pada Rabu (21/11) , dia memastikan Boediono sebagai calon yang diperiksa, dengan catatan setelah pihaknya selesai menggarap Budi Mulya dan Siti Chalimah Fadjrijah.
Tapi, ketika disinggung wartawan lagi pada Selasa (27/11) di Istana Negara, niat memeriksa Boediono lagi-lagi kendur. Dia mengatakan saat itu, KPK belum bisa mengatakan Boediono terlibat. Sebab, keterlibatan seseorang dalam sebuah perkara korupsi baru bisa disimpulkan setelah didapatkan bukti yang kuat.
"Kalau sekarang menyimpulkan, itu terlalu prematur," ucapnya.
Untuk menyelamatkan muka Boediono, seharusnya KPK secepat kilat melakukan pengusutan Century dan kesimpulan pemeriksaan itu dipublikasikan kepada publik. Jika Boediono tak bersalah, katakan saja demikian karena saat ini mulut KPK masih mendapat tempat di hati rakyat. Tapi, kalau bersalah, apa boleh buat?
Dan sebaiknya, Samad Cs tak perlu lagi meragukan adanya keterlibatan Boediono dalam pengucuran dana kontroversial itu. Karena keterlibatan Pak Boed yang kala itu menduduki jabatan Gubernur BI begitu telanjang di mata publik seiring tiga tahun kasus ini menggantung-gantung di langit ketidakpastian.
Potret keterlibatan Boediono dapat ditemukan di begitu banyak artikel media massa yang berangkat dari temuan investigasi Bank Century yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2009. Disebutkan bahwa pada tanggal 14 November 2008 Gubernur BI mengubah persyaratan CAR untuk mendapatkan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) menjadi “positif” saja. Sementara penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa posisi CAR Bank Century pada tanggal 31 Oktober 2008 telah berada pada titik negatif 3,53 persen. Dengan demikian, bahkan menurut peraturan baru itu pun seharusnya Bank Century tidak memenuhi syarat untuk memperoleh FPJP.
Selain itu, BPK juga menemukan bahwa sebagian jaminan FPJP yang disampaikan Bank Century senilai Rp 467,99 miliar nyata-nyata tidak secure. Namun demikian, Boediono tetap berbaik hati merestui permintaan FPJP yang diajukan Bank Century.
Malam hari, 20 November 2008, Boediono menandatangani surat bernomor 10/232/GBI/Rahasia tentang Penetapan Status Bank Gagal PT Bank Century Tbk. dan Penanganan Tindak Lanjutnya. Di dalam surat itu, antara lain, disebutkan bahwa salah satu cara untuk mendongkrak rasio kecukupan modal Bank Century dari negatif 3,53 persen (per 31 Oktober 2008) menjadi positif 8 persen adalah dengan menyuntikkan dana segar sebagai Penyertaan Modal Sementara (PMS) sebesar Rp 632 miliar.
Jadi siapa bisa menyangkal keterlibatan Boediono? Terlibat itu sudah pasti. Tapi apakah keterlibatannya itu membawa dia pada tindak pidana, KPK harus segera membuktikan iya atau tidak-nya.
Poling Rakyat Merdeka Online yang menanyakan pendapat pembaca soal pantaskah bila mantan Gubernur BI Boediono ditetapkan sebagai salah seorang tersangka, menunjukkan persepsi keadilan publik yang mewarnai perjalanan kasus ini.
Sejak survei dibuka Kamis (22/12) lalu (dua hari setelah Boediono menetapkan dua nama calon tersangka) hingga detik laporan ini diturunkan, sudah 81,5 persen peserta poling menyebut pria asal Blitar itu pantas jadi tersangka.
Cuma 15,4 persen yang menolak status tersangka dikenakan pada Boediono. Sedangkan sisanya 3,1 persen menjawab ragu.
Hasil poling ini bukanlah mengklaim pandangan masyarakat Indonesia keseluruhan dan tak dikerjakan mengikut kaidah akademin. Namun, kiranya dapat memberikan gambaran kecil kegelisahan rakyat akan nasib mega-skandal yang cuma dijadikan alat tawar menawar oleh elite-elite politik. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA