post image
KOMENTAR
JIKA Saudara singgah di kota kami, dan berhenti di bawah pohon asam binjei yang tinggal satu-satunya tumbuh di tepi sugai itu, lihatlah ke arah selatan. Di sana ada sebuah perkampungan yang boleh jadi sebelumnya adalah perkampungan paling pesat, karena lokasinya persis di tepi gerbang yang mempertemukan para pedagang dari berbagai nagari. Konon di tempat itu pernah berdiam Pande Dingin, dukun tawar segala racun yang cukup disegani dukun-dukun pemilik ilmu hitam di sepanjang lembah bukit barisan hingga tanah Langkat.

Maka dari pohon itu, aku akan mengisahkan padamu, mengenai seorang pemuda yang pada waktunya, tiba juga pada masa tua, karena waktu memang tak terkalahkan dan terbendung. Dan menjadi tua adalah sebuah ketentuan dari Dibata

***
Ombak berkecipak menghantam dermaga. Sampan-sampan ditambatkan. Lelaki itu tiba di sana. Dengan buntalan besar dipikulannya, berdiri menghadap sungai yang masih dipadati sampan-sampan peziarah yang datang untuk berdagang atau bersandar hanya untuk sekadar singgah di Bandar. Matanya bersinar. Pijar melompat menerangi kaca selaput bola mata. Lelaki itu berbalik. Menghadap deretan rumah singgah.

"Kami tak punya kamar untuk dijadikan penginapanmu barang semalam, Tuan," ujar si pemilik warung. Lelaki itu menghela nafasnya. Itu adalah warung kesekian yang dia datangi. Dan warung kesekian pula yang tak menyediakan kamar untuknya menginap.

Malam merambat. Bulan menghadap. Ombak terus berkecipak, menampar pilah papan dermaga yang lapuk dimakan lumut. Lelaki itu berdiri di tepi sungai. Dipandanginya langit hitam. Disimpannya rindu dendam pada kampung halaman. Nun di sana. Suatu masa dia pernah berbuat salah. Dan di tempat asing ini, dia berniat memperbaikinya. Menyembuhkan segala luka yang menganga pada sejarahnya. Sementara malam kian kasat. Lelaki itu memilih berbaring di bawah rindang asam binjai.

Sungai itu adalah sungai yang menjadi nadi, kuta di hulu dan berakhir di Tanjung Pura. Ratusan pedagang tiap hari silih ganti singgah. Ratusan orang asing selau datang, Selalu pergi. Namun hingga beberapa lama, lelaki asing itu, tak jua memutuskan untuk mengembara ke tanah lain. Meski saban malam dia menjadi penunggu tetap asam binjai yang tumbuh tak jauh dari dermaga utama Bandar itu.

Lelaki asing itu akan terus menjadi orang asing yang terasing dalam pengasingan. Namun bagi penduduk setempat, perlahan kehadiran lelaki itu mulai mendapat tempat. Meski tak punya ilmu bela diri yang mumpuni, namun lelaki itu bisa diandalkan untuk menjadi penjaga malam di kuta itu. Penduduk pun kerap mempekerjakannya lepas waktu. Entah sebagai buruh panggul yang mengangkat barang niaga dari Langkat atau sekadar menjahit jala nelayan yang robek. Penduduk senang dengan si lelaki asing yang memang ringan tangan. Namun begitu, tetap tak ada sepotong ruangan pun di rumah mereka yang dihadiahkan kepada si lelaki asing.

Jika saudara mampir di kota saya, cobalah mengerti bahwa keramahtamahan kami tak seperti yang saudara bayangkan. Bagi kami, saudara tetaplah orang asing. Yang boleh jadi memang hanya datang untuk singgah untuk kemudian saling melupakan.

Maka bandar pun kian ramai ketika itu. Peziarah dari berbagai nagari lalu lalang berganti datang. Dari Deli ataupun Langkat, dari Sibolangit atau juga Tanjung Pura. Namun lelaki itu tetap kesepian.
Seiring waktu, asam binjai yang menjadi tempat singgahnya perlahan menjelma menjadi pondokan kecil. Di tempat itu dia belajar menghapus masa lalunya.

Pada masa yang sama seorang pedagang dari tamil terlibat perkelahian dengan seorang pedagang. Kejadian itu berlangsung tak jauh dari pondokan kecil si lelaki asing. Sang tamil terluka parah dan melarikan diri minta pertolongan. Namun seperti yang kukatakan di atas tadi. Kampung kami adalah kampung persinggahan. Selalu ramai dikunjungiorang asing, dengan masalah mereka masing-masing. Dan agaknya akan selalu asing.

Si tamil berteriak meminta tolong. Darah tersadap dari sekujur tubuhnya. Dia berlari ke arah bandar, namun di sana tak ada seorang pun yang sudi menyembunyikannya. Tamil itu berlari kembali ke dermaga, sementara lawannya tetap memburunya dengan menenteng parang besar.
"Berhenti!" muncul lelaki asing penunggu asam binjai. Iba hatinya melihat si tamil yang nyaris kering kehabisan darah.

"Kulok! Minggir! Dia buruanku,"jawab si pemburu. Sementara si tamil jatuh terkapar di bawah kaki si lelaki asing. Di dekat dermaga para pedagang ramai berdatangan. Mereka hendak melihat perkara apa yang sedang berlangsung.
"Oh, orang asing…"
"Aku tak kenal…"
"Biarinlah, jangan dilerai…"
"tiga pihak, tiga-tiganya orang asing,"
"Dendam berkarat…"
Ramai penonton berkomentar.

Dengan tenang tanpa mempedulikan si pemburu, lelaki asing penunggu asam binjai mengangkat si tamil. Dan membopongnya ke pondok kecilnya. Si pemburu dengan awas terus menguntit si lelaki asing yang tak menanggapi ancamannya.

"Hei orang asing… minggir tak perlu kau ikut campur. Atau rasakanlah sabetan parangku ini…" belum selesai si pembura mengancam, parangnya sudah berkelebat menyerang lelaki asing penunggu asam binjai. Dengan cepat lelaki asing mengelak dan dengan satu dua jurus, dia menghempaskan si pemburu ke tanah. Tangan si pemburu patah.

"Aku minta maaf. Biar aku obati juga lukamu itu," ujar lelaki asing. Si pemburu hanya meringis tak kuat menahan luka yang diderita.

Baik si tamil dan si pemburu si tamil, keduanya mendapat pengobatan. Dan lelaki asing itu begitu mahir dalam meracik tumbuhan obat. Darah yang mengucur deras dari luka si tamil berhasil dihentikan. Tangan si pemburu diluluri parem dan disembuhkan.

"Bukan maksudku masuk ke dalam masalah kalian berdua. Tapi menurutku, apa yang sanak lakukan berdua sungguh tak bisa kubiarkan. Apa soal dan duduk masalahnya, sehingga kalian berdua terlibat perkelahian sengit?"

Sambil menahan sakit si pemburu angkat suara. "Tamil itu sudah menipuku. Dua bulan lalu dia katakan bahwa kain pesananku dari Madras sudah singgah. Nayatanya belum. Dan dia bukannya minta maaf, tapi malah menghinaku. Dan menghina nenek moyangku,"
"Bukan, bukan itu yang terjadi," potong si tamil. "dua bulan lalu, dia memberikan uang muka untuk beberapa helai kain dari Madras. Aku memesannya pada seorang pedagang lain. Namun kapalnya dirompak. Karena barang tak ada, aku pergi ke Tanjung Pura dan membeli kain Madras di sana. Namun uang muka lelaki ini tak cukup membelinya karena pajak yang ditetapkan sultan di sana terlalu tinggi,"
"Bohong, bukan begitu… awas kau…" kata si pemburu memotong dan berusaha menyerang si tamil.
"Sudah, cukuplah!" kata si lelaki asing, menengahi. “Apa uang muka lelaki ini masih ada padamu?” tanya lelaki asing penunggu asam binjai.
"Tadinya ada, namun karena kami bergelut di dekat dermaga, uang itu sudah berhamburan ke sungai dan diperbutkan orang. Aku sudah tak punya uang untuk menggantinya,"
"Begini saja, sebulan lagi, kau datang kemari untuk melanjutkan pengobatanku. Kau bawakan uang muka si lelaki ini," usul si lelaki asing. Si tamil mengangguk sambil meringis. "Dan kau…" ujar lelaki asing kepada si pemburu, "datanglah sebulan lagi untuk menerima hakmu. Sekalian untuk melanjutkan pengobatanmu. Setuju?"

Si pemburu yang sudah tak kuat menahan ngilu mengangguk saja.

Maka bubarlah orang-orang yang hadir di sekitar pondokan lelaki asing. Polemik berhamburan dari mulut penonton yang memberikan penilaian atas usaha si lelaki asing mendamaikan kedua belah pihak.
Tak ada yang tahu persisnya kapan si lelaki asing penunggu asam binjai itu dikenal sebagai Pande Dingin. Yang jelas, usai peristiwa di dermaga itu, warga di bandar mulai memberikan julukan baru padanya. Dan memberlakukannya sebagai orang istimewa.

Setelah berbulan-bulan penyelesaian perkara si tamil dan si pemburu, semakin banyak saja orang berpenyakit datang dan singgah di kampung kami. Yah orang berpenyakit. Kampung kami jadi tempat pembuangan penyakit. Dan itu karena si Pande Dingin!

Satu per satu penduduk setempat memilih pergi ke kuta lain. Alasannya apalagi kalau bukan karena para pendatang yang datang bersama penyakit. Mereka mulai kuatir ditulari penyakit yang dipercayai sebagai kutukan Dibata. Namun bagi Pande Dingin ini adalah tugasnya. Dengan tulus, dia mengobati siapapun yang datang ke tempatnya. Dan dia didukung pula oleh sebagian besar warga di kuta itu.

***
"Mau kemana?"
"Ke Binjai! "
"Sakit apa?"
"Mencret!"
Adalagi…
"Sakit apa?"
"Tak bisa makan…"
"Pasti karena pajak sultan ya?"
"Mungkin juga. Tapi kayaknya bukan karena pajak saja. Ini memang sakit. Setiap makanan yang kumasukkan ke mulut pasti kumuntahkan…"
"Oh… ke Binjai saja!"

***
Suatu masa, Pande Dingin lelah digiring usia. Dia berniat melanjutkan perjalanan ke suatu tempat. Maka setelah segala bekal dipersiapkan, tibalah waktu untuk Pande Dingin berpamitan kepada warga di bandar itu.

"Meski sudah puluhan tahun aku menetap di bawah pohon itu, nyatanya aku tetap orang asing. Cepat atau lambat kalian akan melupakanku. Terima kasih telah memberikan tempat singgah untukku,"
Warga setempat dan pendatang yang memang datang menetap untuk mengobati penyakit bersedih atas niat Pande Dingin. Mereka tak bisa menahan Pande Dingin. Bahkan di dalam ingat sekalipun.

***
Jika saudara mampir di tanah kelahiranku, maka berdiri lah di bawah pohon asam binjai yang boleh jadi adalah pohon terakhir yang tumbuh di kota kami itu. Itu memang bukan pohon tempat berteduh si Pande Dingin selama kisaran waktu tertentu. Itu pohon lain. Namun seperti yang kudengar, sebentar lagi sebuah showroom mobil Jepang akan berdiri megah di tempat itu. Aku bisa bayangkan cepat atau lambat, pohon itu pun musnah ditelan cerita.

Maka bila ada waktu tuan dalam waktu dekat ini, datang dan berkunjung ke kampung kami, singgahlah sebentar di rindang asam binjai. Dan cobalah untuk mengingat dan memikirkan orang-orang asing yang pernah singgah dalam hidup anda. Boleh jadi satu diantara mereka adalah si Pande Dingin.

Binjai, 6 Feb. 2010

Ibu Tanah Air

Sebelumnya

16 Titik Api Dideteksi Di Sumatera, Singapura Berpotensi Berkabut

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Rumah Kaca