Persoalan buruh, tani, dan nelayan sangat kompleks dan diliputi berbagai persoalan yang sampai sekarang belum bisa dituntaskan. Buruh domestik dan buruh migrant belum ditangani secara baik. Para petani masih jauh dari tingkat kesejahteraan. Demikian juga para nelayan masih lebih banyak dieksploitasi para pemilik modal.
"Ada banyak ironi melihat realitas buruh, tani, dan nelayan kita," ujar Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Saleh P. Daulay, pada acara Silatnas Bidang Buruh, Tani dan Nelayan Pemuda Muhammadiyah dengan tema "Konektivitas Gerakan Pencerahan Buruh, Tani dan Nelayan" di Kampus Universitas Prof. DR Hamka (UHAMKA) Jakarta (Jumat, 16/11).
Di satu sisi, lanjut Saleh, kita melihat jutaan rakyat Indonesia bekerja di luar negeri untuk menghidupi keluarganya. Di sisi lain, di dalam negeri pemerintah belum bisa menyetop tenaga-tenaga kerja asing untuk bekerja di Indonesia. Belum lagi, tingkat kesejahteraan buruh masih tetap memprihatinkan.
Buruh migrant yang bekerja di luar negeri selalu dipuji sebagai pahlawan devisa. Namun, sistem penempatan dan perlindungan mereka masih jauh dari memuaskan. Setiap waktu persoalan buruh migrant selalu menghiasi berita-berita nasional. Bahkan, tidak jarang isu-isu yang ada bisa mengganggu hubungan bilateral antara Indonesia dengan negara-negara dimana buruh migrant banyak ditempatkan.
Dalam bidang pertanian, Indonesia selama ini dikenal sebagai negara agraris. Namun pada kenyataannya, Indonesia sampai hari ini masih tetap mengimpor beras dari luar negeri. Petani beras sulit mendapatkan kesejahteraan. Bahkan untuk harga gabah saja, pemerintah kelihatannya belum berpihak dengan mereka.
Dalam bidang kelautan, Indonesia dikenal sebagai negara maritim yang kaya dengan sumber daya laut. Tetapi, hasil laut Indonesia lebih banyak mensejahterakan para pengusaha dan nelayan-nelayan asing yang mencuri ikan di Indonesia.
Ironi-ironi tersebut sudah diketahui oleh pemerintah. Sayangnya, sambung Saleh, sampai hari ini pemerintah tidak memiliki political will untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Padahal, suara buruh, tani, dan nelayan sangat menentukan dalam setiap kontestasi peralihan kekuasaan di Indonesia. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA