KOMIDI PUTAR CENTURYGATE
SEPERTI komidi putar. Itulah agaknya istilah yang pantas digunakan untuk menggambarkan nasib megaskandal danatalangan untuk Bank Century senilai Rp 6,7 triliun sejak dipegang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Perkembangan terakhir, Wakil Ketua KPK, Busyro Muqaddas, akhir pekan lalu dengan percaya diri mengatakan bahwa dalam waktu dekat kasus ini akan ditingkatkan statusnya dari penyelidikan menjadi penyidikan. Pernyataan ini mengulangi sesumbar Ketua KPK Abraham Samad yang mengatakan bahwa sebelum tahun berganti status megaskandal Century akan naik kelas.
Sementara kemarin (Rabu, 14/11) Jurubicara KPK Johan Budi memastikan belum ada satu pihak pun yang jadi tersangka dalam perkara ini.
Pekan lalu, Wakil Ketua DPR RI yang saat ini menjadi Ketua Tim Pengawas Kasus Century, Priyo Budi Santoso, mengatakan dirinya mendapat kabar bahwa Abraham Samad ingin menyampaikan hasil temuan terbaru dalam megaskandal itu. Namun karena DPR RI masih dalam masa reses, pertemuan kedua lembaga baru akan dilakukan setelah reses berakhir. Priyo mengatakan, pihaknya akan mengundang KPK untuk hadir dalam pertemuan 20 November mendatang.
Bila kita membuka-buka kembali catatan atas riwayat megaskandal ini maka telah terang benderang siapa saja pejabat yang terlibat dan patut bertanggung jawab dalam persoalan ini.
Ada dua pejabat penting yang pantas menjadi tersangka dalam criminal policy ini. Pertama adalah mantan Gubernur Bank Indonesia yang kini menjadi Wakil Presiden, Boediono. Dan kedua mantan Menteri Keuangan dan Ketua Komisi Stabilitas Sistem Keuangan yang kini berkantor di World Bank, Sri Mulyani Indrawarti.
Peranan kedua (mantan) pejabat ini sudah sering dibicarakan dan sudah sering dikupas. Untuk menyegarkan ingatakan, kita lihat kembali sejumlah catatan inti dari perjalanan Centurygate.
Boediono telah berkantor sekitar lima bulan, ketika pada 30 Oktober 2008, Bank Century mengajukan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) sebesar Rp 1 triliun. Permintaan ini diulangi Bank Century pada tanggal 3 November 2008.
Kala itu menurut analisis BI, Capital Adequacy Ratio (CAR) Bank Century hanya sebesar positif 2,35 persen. Masih jauh di bawah CAR minimal untuk mendapatkan FPJP yang dinyatakan dalam Peraturan BI 10/26/PBI/2008, yakni sebesar positif 8 persen.
Dalam laporan investigasi Bank Century yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2009 disebutkan bahwa pada tanggal 14 November 2008 BI mengubah persyaratan CAR untuk mendapatkan FPJP menjadi “positif” saja.
Kebijakan ini tampaknya dibuat untuk melegalkan syarat pengucuran FPJP bagi Bank Century.
Sementara penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa posisi CAR Bank Century pada tanggal 31 Oktober 2008 telah berada pada titik negatif 3,53 persen. Dengan demikian, bahkan menurut peraturan baru itu pun seharusnya Bank Century tidak memenuhi syarat untuk memperoleh FPJP.
Selain itu, BPK juga menemukan bahwa sebagian jaminan FPJP yang disampaikan Bank Century senilai Rp 467,99 miliar nyata-nyata tidak secure. Namun demikian, Boediono tetap berbaik hati merestui permintaan FPJP yang diajukan Bank Century.
babak selanjutnya dari drama Centurygate ini terjadi beberapa saat sebelum Rapat KSSK yang hanya beranggotakan dua orang, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang merangkap, dan Boediono dalam kapasitasnya sebagai Gubernur BI kala itu.
Malam hari, 20 November 2008, Boediono menandatangani surat bernomor 10/232/GBI/Rahasia tentang Penetapan Status Bank Gagal PT Bank Century Tbk. dan Penanganan Tindak Lanjutnya.
Di dalam surat itu, antara lain, disebutkan bahwa salah satu cara untuk mendongkrak rasio kecukupan modal Bank Century dari negatif 3,53 persen (per 31 Oktober 2008) menjadi positif 8 persen adalah dengan menyuntikkan dana segar sebagai Penyertaan Modal Sementara (PMS) sebesar Rp 632 miliar.
Surat itulah yang kemudian dibahas dalam "rapat konsultasi" Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang dihadiri sejumlah pemangku kebijakan moneter dan keuangan serta berlanjut dalam Rapat KKSK pada subuh 21 November 2008.
Di dalam kedua rapat itu Boediono tampil ngotot dan berusaha sekuat mungkin mempertahankan argumentasinya.
Jejak sikap ngotot Boediono dapat ditelusuri dari transkrip rekaman pembicaraan dalam rapat konsultasi dan dokumen resmi notulensi rapat konsultasi yang beredar luas di masyarakat pada akhir tahun 2009.
Dalam notulensi “rapat konsultasi” setebal lima halaman itu disebutkan bahwa rapat yang dipimpin Sri Mulyani dibuka sebelas menit lewat tengah malam tanggal 21 November 2008. Juga disebutkan bahwa rapat digelar khusus untuk membahas usul BI agar Bank Century yang oleh BI diberi status “Bank Gagal yang Ditengarai Berdampak Sistemik” dinaikkan statusnya menjadi “Bank Gagal yang Berdampak Sistemik”.
Setelah dibuka, Boediono mendapatkan kesempatan pertama untuk mempresentasikan permasalahan yang sedang dihadapi Bank Century.
Menurut Boediono, selain harus dinaikkan statusnya menjadi “Bank Gagal yang Berdampak Sistemik”, Bank Century juga perlu dibantu dengan dana segar sebesar Rp 632 miliar untuk mendongkrak rasio kecukupan modal menjadi positif 8 persen.
Menyikapi presentasi Boediono, Sri Mulyani mengatakan bahwa reputasi Bank Century selama ini, sejak berdiri Desember 2004 sebagai hasil merger Bank Danpac, Bank CIC, dan Bank Pikko, memang sudah tidak bagus. Lalu Sri Mulyani meminta agar peserta rapat yang lain memberikan komentar atas saran Boediono.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) juga menolak penilaian BI. Menurut BKF, “analisa risiko sistemik yang diberikan BI belum didukung data yang cukup dan terukur untuk menyatakan bahwa Bank Century dapat menimbulkan risiko sistemik. Menurut BKF, analisa BI lebih bersifat analisa dampak psikologis.”
Sikap Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) pun hampir serupa. Dengan mempertimbangkan ukuran Bank Century yang tidak besar, secara finansial Bank Century tidak akan menimbulkan risiko yang signifikan terhadap bank-bank lain. “Sehingga risiko sistemik lebih kepada dampak psikologis.”
Tetapi Boediono bertahan pada pendapatnya. Dan pada akhirnya ia memenangkan pertarungan dalam Rapat KSSK yang hanya dihadiri dirinya sebagai anggota, Sri Mulyani sebagai ketua dan Raden Pardede sebagai sekretaris.
Analisa tentang keterlibatan kedua pejabat ini pun telah disampaikan Presiden SBY dalam pertemuan dirinya dengan pemimpin redaksi media massa nasional di Istana Negara, malam hari 22 November 2009. Ketika itu, pembicaraan mengenai megaskandal yang mengagetkan ini baru memasuki ranah publik.
Dalam pertemuan itu SBY mengaku sengaja memilih diam dan tak berkomentar banyak mengenai megaskandal Bank Centurykarena tak mau komentarnya memperkeruh keadaan. Namun demikian, di saat yang sama dia juga mengatakan mendukung hak angket Bank Century yang saat itu sedang bergulir di DPR.
“Selama ini saya menghormati BPK yang sedang melakukan audit investigatif seperti yang diminta DPR,” ujar SBY menambahkan penjelasan sikap diam yang dipilihnya.
Lebih lanjut menurut SBY, kasus Bank Century ini memiliki tiga dimensi dan setiap dimensi memiliki penanggung jawab masing-masing. Ketiga dimensi itu adalah wilayah kewenangan Bank Indonesia (BI), wilayah kewenangan pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan, dan wilayah Bank Century.
SBY juga mengatakan, siapapun yang bertanggung jawab harus bisa menjelaskan. Serta, siapapun yang berbuat kriminal, harus mendapatkan hukuman yang adil.
Sejauh ini baru pihak Bank Century, yakni Direktur Utama Bank Century Hermanus Hasan Muslim dan mantan Komisaris Utama Robert Tantular yang sudah diadili. Bulan Agustus 2009 Hermanus dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, sementara di bulan September 2009 Robert Tantular dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda 50 miliar.
Nah, tinggal Boediono dan Sri Mulyani yang belum tersentuh tangan hukum.
Jadi, kalau benar KPK punya kabar gembira, dan kalau benar sebelum tahun ini berakhir megaskandal danatalangan Bank Century akan naik kelas, maka Abraham Samad Cs pantas mempertimbangkan Boediono dan Sri Mulyani sebagai tersangka selanjutnya. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA