post image
KOMENTAR
  Sebuah artikel yang tengah beredar luas di jejaring media sosial yang ditulis ekonom Lin Che Wei mengkritik sepak terjang sejumlah tokoh yang mengajukan judicial review terhadap UU 22/2001 tentang Migas. Judicial review ini, seperti telah diketahui bersama, berujung pada antara lain pembubaran BP Migas.

Artikel tersebut mempertanyakan konsistensi dan itikad para penggugat. Menurut si penulis artikel, beberapa di antara penggugat seperti DR. Rizal Ramli dan Kwik Kian Gie yang menjadi ahli kunci dalam persidangan judicial review yang digelar Mahkamah Konstitusi, dan bahkan Ketua MK Mahfud MD, terlibat dalam pemerintahan ketika draft RUU Migas itu dibahas dan akhirnya diputuskan menjadi UU.

"Pak Kwik Kian Gie, mengapa Anda tidak ribut-ribut ketika Anda justru sangat berkuasa sebagai Menko Ekuin. Pak Rizal Ramli, mengapa Anda tidak menyatakan keberatan Anda justru di zaman reformasi dimana Anda adalah Menkeu dan Menko. Pak Mahfud MD, mengapa tidak membahas soal Energy Security issue ketika Anda menjadi Menhan?" antara lain tanya si penulis artikel yang diberi judul Badut Politik dalam Kasus Pembubaran BP Migas dan UU Migas tahun 2001.

Bila tidak benar-benar memperhatikan apa yang terjadi beberapa tahun lalu, di awal-awal masa reformasi, maka sepintas apa yang dipertanyakan dalam artikel itu terkesan benar.

Namun bila kronik reformasi kembali diteliti maka dapat dipahami apa yang sesungguhnya terjadi dan dapat disimpulkan bahwa pertanyaan-pertanyaan dalam artikel tersebut di atas tidak memiliki dasar, kecuali mungkin sentimentil dan emosional semata.

Penjelasan tambahan namun penting mengenai riwayat draft UU Migas yang kontroversial ini masih dapat ditemukan dalam archive Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia di Jakarta. Pada tanggal 29 Agustus 2008 Kedubes AS mengeluarkan pernyataan resmi mengenai keterlibatan USAID dalam apa yang disebut sebagai proses reformasi sektor energi.

Dalam dokumen itu disebutkan bahwa pada awal 1999 Kuntoro Mangkusubroto yang ketika itu adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral meminta bantuan USAID mereview sebuah draft RUU Migas. USAID menyambut positif undangan itu dan selanjutnya bersama pemerintah Indonesia menandatangani Strategic Objective Grant Agreement (SOGA) yang berlaku untuk lima tahun.

Dalam SOGA itu, USAID menyediakan dana sebesar 20 juta dolar AS untuk membentuk tim asistensi baik yang long term maupun short term, juga menggelar berbagai workshop dan pelatihan. Pun disebutkan bahwa USAID memobilisasi tiga tim asistensi untuk keperluan ini.

Dokumen Kedubes AS juga mengakui bahwa upaya meloloskan UU Migas tidaklah mudah. Pembahasan yang dilakukan pemerintah dan parlemen berlangsung dengan sangat serius (very intense delibration).

"The draft oil and gas law was subjected to very intense deliberations by GOI and DPR during the President Yudhoyono’s tenure as Minister of Energy, and was enacted in 2001 under current Minister Purnomo Yusgiantoro," demikian tertulis pada bagian akhir pernyataan Kedubes AS itu.

Fraksi ABRI di parlemen ketika itu, termasuk pihak yang menolak dengan keras draft RUU Migas versi Kuntoro Mangkusubroto itu. Sikap Fraksi ABRI ini dipengaruhi penasihat ekonomi fraksi, DR. Rizal Ramli.

Tokoh lain yang menolak keras adalah ekonom senior Kwik Kian Gie yang dalam Kabinet Persatuan Nasional (pertama) pimpinan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menduduki posisi Menko Ekuin.

Pembahasan draft RUU Migas itu pun terhenti. Pemerintahan Gus Dur tak pernah mengajukannya ke parlemen.

Tetapi, kekuasaan Gus Dur semakin rapuh. Pada 10 Juli 2000 Kwik Kian Gie mengundurkan diri dari kabinet Gus Dur bersama dengan beberapa menteri lain.

Untuk menyelamatkan pemerintahan, pada 23 Agustus Gus Dur mengumumkan susunan baru Kabinet Persatuan Nasional. Dalam susunan baru ini, posisi Menko Ekuin diisi DR. Rizal Ramli yang sebelumnya adalah Kepala Bulog. Adapun SBY dimutasi ke posisi Menko Polkam menggantikan Suryadi Sudirja yang menempati posisi Menko Polkam sejak Wiranto mengundurkan diri bulan Februari 2000.

Sementara Mahfud MD sebagai pendatang baru ditempatkan pada posisi Menteri Pertahanan.

Susunan Kabinet Persatuan Nasional (kedua) ini pun tidak bertahan lama. SBY termasuk dalam kelompok menteri yang mengundurkan diri dari kabinet Gus Dur ketika perpecahan Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri semakin nyata.

Pada 1 Juni 2001, Gus Dur melantik Agum Gumelar sebagai pengganti SBY di posisi Menko Polkam, juga sejumlah tokoh lain untuk mengisi beberapa kursi kosong.

Kabinet Persatuan Nasional yang dipimpin Gus Dur akhirnya benar-benar bubar bersama kejatuhan sang presiden pada 23 Juli 2001.

Sejak kejatuhan Gus Dur, anasir-anasir yang menginginkan draft RUU Migas itu segera diundangkan bekerja keras dengan sangat intensif. Akhirnya, hanya empat bulan setelah Gus Dur meninggalkan Istana Negara, pada 23 November 2001 draft itu pun diresmikan menjadi UU Migas. [rmol/hta]

PHBS Sejak Dini, USU Berdayakan Siswa Bustan Tsamrotul Qolbis

Sebelumnya

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN NELAYAN (KPPI) DALAM MENGATASI STUNTING DAN MODIFIKASI MAKANAN POMPOM BAKSO IKAN DAUN KELOR DI KELURAHAN BAGAN DELI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa