Pemerintah diminta menerapkan pengamanan perdagangan (safeguard) impor terigu. Sebab, jumlahnya terus meningkat dan ada yang mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan.
Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Ratna Sariloppies mengatakan, lonjakan impor terigu sudah sangat tinggi dan berakibat injury industri terigu dalam negeri.
“Karena itu kami memohon penerapan bea masuk tambahan tindakan pengamanan perdagangan (BMTP) dan BMTP Sementara (BMTPS) selama masa penyelidikan,” kata Ratna di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, nilai impor terigu selama Januari-Agustus 2012 tembus 330.285 ton dengan nilai 130.1 juta dolar AS. Tingginya impor terigu itu juga dibarengi dengan ancaman kesehatan.
Ratna mengaku Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan menemukan terigu impor asal Srilanka menggunakan Potassium Bromate.
Untuk diketahui, potassium bromate di banyak negara seperti di China, Nigeria, Brazil, Peru, Kanada, Eropa termasuk Inggris, sudah dilarang karena menyebabkan kanker.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Makanan, Potassium Bromate salah satu yang dilarang untuk industri pangan. Ratna berharap semua terigu impor asal Srilanka dapat ditahan sementara di seluruh pelabuhan untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Dia mengusulkan Kementerian Perdagangan dapat mengatur agar Harmonized System (HS) code 1101.00.10.90 dalam proses impornya hanya bisa dilakukan oleh importir produsen yang diatur dengan peraturan teknis (Pertek).
Misalnya, sebelum proses impor terigu berstandar nasional Indonesia (SNI), harus memiliki surat rekomendasi direktorat teknis.
Ratna juga menjamin tidak akan ada kenaikan harga jika pemerintah mengeluarkan kebijakan pengamanan tersebut untuk mengurangi impor terigu. Aptindo tetap konsisten harga terigu domestik hanya ditentukan oleh harga gandum internasional dan nilai tukar rupiah.
“Tidak akan ada kelangkaan terigu di pasaran dengan berkurangnya pasokan terigu impor akibat bea masuk
tindakan pengamanan perdagangan ini. Sebab, kapasitas terpakai dari industri yang ada baru rata-rata 46 persen, jadi sangat siap untuk mengisi stok terigu di pasaran,” jelas Ratna.
Menurutnya, jika pemerintah tidak segera menerapkan kebijakan pengamanan, maka usaha kecil menengah (UKM) sebagai penyerap terigu domestik akan menderita karena kolapsnya industri dalam negeri, yang selama ini menjadi pembinanya dan akan berdampak pada bertambahnya pengangguran. Selain itu, dampaknya juga akan membuat negatif iklim investasi di Indonesia tidak ada kepastian hukum.
Menurut Ratna, tidak ada alasan pemerintah terus membuka kran impor terigu. Berdasarkan hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI), UKM tidak menggunakan terigu impor. Alasannya, kualitas dan persediannya tidak stabil.
Selain itu, jenisnya terlalu banyak sehingga sukar menentukan tepung mana yang paling cocok. Terigu impor yang mutunya sama dengan domestik yang mereka gunakan harganya lebih mahal.
Peneliti dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Abubakar Siddik mengatakan, pemerintah harus meningkatkan pengawasan terhadap barang-barang impor yang masuk ke Indonesia. “Bahan makanan dari negara asing yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia jangan dibiarkan beredar di masyarakat dong,” tegasnya.
Siddik mengatakan, pemerintah harus bersikap tegas terhadap importir maupun pengusaha nakal yang sengaja memasukkan tepung terigu tidak sesuai dengan ketentuan.
“BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) harus selektif menjalankan tugasnya mengawasi bahan makanan dan produk dari luar yang diperjualbelikan di negeri ini,” ujarnya.
Menurut dia, kasus temuan tepung terigu yang diduga mengandung zat yang berbahaya merupakan kelemahan atau kelalaian petugas yang dipercayakan mengawasi barang-barang impor tersebut.
Sebagai informasi, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Perdagangan menemukan 250 ton tepung impor asal Srilanka yang mengandung bahan berbahaya di daerah Sumatera Utara. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA