Sulit membayangkan Indonesia dapat bangkit menjadi kekuatan politik dan ekonomi yang benar-benar diperhitungkan di kawasan regional, apalagi global.
Hasrat menjadi the next China, India, Jepang atau Korea hanya akan tinggal sebagai mimpi kosong di siang bolong selagi kompetensi tidak dijadikan kriteria utama dalam memilih pemimpin, baik di tingkat lokal maupun nasional.
"Kita patut prihatin karena popularitas tampaknya sedang dijadikan kriteria utama dalam memilih pemimpin di Indonesia. Yang lebih memprihatinkan lagi, popularitas tidak dicapai dengan prestasi riil, tapi menggunakan praktik semir dan pencitraan," ujar dosen ilmu politik FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Teguh Santosa.
Fenomena ini mirip dengan yang dialami negeri tetangga Filipina dalam beberapa dekade terakhir dimana banyak bintang film yang beralih menjadi politisi dan merebut posisi pemimpin lokal maupun nasional tanpa kemampuan yang memadai.
"Filipinisasi ini terjadi terutama karena partai politik gagal berperan sebagai wadah kaderisasi. Sementara semangat yang diperlihatkan tokoh-tokoh lama untuk terus berkuasa tetap tinggi," ujar Teguh.
"Sikap ngotot tokoh-tokoh 4L (lu lagi, lu lagi) inilah yang akhirnya mendorong kelahiran kandidat asal populer," sambungnya.
Dosen komunikasi di London School of Public Relations, Jakarta, ini memberi contoh pemilihan kepala daerah di beberapa provinsi dan kabupaten, dimana partai-partai politik berusaha memenangkan kompetisi dengan menggandeng artis.
Dia juga berharap di tahun 2014 nanti akan hadir calon presiden alternatif yang tidak sekadar populer tetapi juga memiliki kemampuan teruji untuk membawa Indonesia menjadi negara yang benar-benar terpandang.
"Sulit membayangkan Indonesia jadi the next China, India, Jepang atau Korea, selama penyakit ini terus dipertahankan. Apalagi dibiarkan sampai pemilu 2014. Kita membutuhkan tokoh alternatif yang punya kompetensi dan tidak sekadar populer," demikian Teguh. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA