Sudah saatnya pemerintah menyusun kebijakan yang berpihak kepada petani nasional. Dengan begitu pemerintah bisa mewujudkan cita-cita keadaulatan pangan dan impor beras yang lebih banyak merugikan keuangan negara bisa dihentikan.
Demikian disampaikan Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARUP) Riza Ramli pada diskusi yang bertajuk "Asean Economy Development Through the Strengthening of Food Self-sufficiency" di Jakarta, Selasa (13/11).
"Keberpihakan terhadap petani inilah yang diterapkan seperti pemerintah sejumlah negara maju, seperti Jepang dan Taiwan. Petani di negara-negara itu benar-benar mendapatkan perlindungan dari pemerintahnya. Itulah sebabnya mereka bisa hidup dengan tingkat kesejahteraan yang sangat memadai," ujar Rizal Ramli pada acara yang diselenggarakan Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) itu.
Menurut Rizal Ramli, publik harus bisa membedakan makna ‘ketahanan pangan’ dan ‘kedaulatan pangan.’ Sepintas, lanjut dia, sepertinya tidak ada perbedaan hakiki dari dua kaliimat ini. Namun sesungguhnya di balik keduanya ada perbedaan makna yang amat fundamental.
Pada ketahanan pangan, paradigma yang dipegang adalah; yang penting tersedianya bahan pangan sebagai kebutuhan pokok. Tidak penting sumber stok itu, apakah hasil panen sendiri atau impor. Bahkan pada paradigma ketahanan pangan yang dikembangkan justru pemenuhan kebutuhan beras dengan cara mengimpor.
Stok beras dunia hanya sekitar 4 juta ton. Kalau tiap tahun Indonesia mengimpor hingga 2 juta ton, ini akan mengerek harga beras di pasar internasional. Akibatnya, kita harus mengeluarkan devisa dalam jumlah sangat besar untuk impor beras. Adalah rahasia umum, bahwa ada komisi sekitar US$10-US$20/ton. Bayangkan, berapa banyak keuntungan para pemburu rente ini? Ini terjadi karena yang diterapkan adalah paradigma neolib. Pada saat yang sama, rakyat harus membayar beras lebih tinggi dari semestinya. Celakanya hal seperti ini juga berlaku pada produk pertanian lain, seperti kedelai, jagung, dan gaplek.
“Sebetulnya pemerintah bisa tidak mengimpor beras. Caranya, dengan membeli beras produksi petani sebanyak-banyaknya. Dengan cara ini tidak perlu kita buang-buang devisa. Yang lebih penting lagi, petani pun senang karena padi dan berasnya dihargai secara pantas,” ungkap Rizal Ramli yang juga mantan Kepala Bulog ini.
Tiru Jepang dan Taiwan
Dia menyarankan agar Indonesia meniru Jepang dan Taiwan. Pemerintah Jepang sangat memproteksi petani dan produk pertaniannya. Impor beras dipersulit dengan berbagai macam peraturan. Pada saat yang sama, pemerintah membeli beras petaninya dengan harga tinggi. Itulah sebabnya petani Jepang makmur hingga bisa menjadi turis ke Bali dan tempat-tempat wisata lainnya.
Hal serupa juga dilakukan Taiwan. Ketika Chiang Kai Sek lari dari China ke Taiwan, dia memberi petaninya 0,5 hektare sawah. Walau tidak luas, namun dengan program intensifikasi produksi padinya bisa jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Hal itu ditambah lagi dengan pengembangan produk holtikultura lainnya, kesejahteraan petani Taiwan jadi meningkat sangat baik.
Pemerintah bisa membagikan lahan di luar Jawa kepada petani, masing-masing 10 ha untuk menanam sawit dan lainnya. Agar tidak terjadi kecemburuan sosial, penduduk lokal menerima 20 ha. Ini jauh lebih bagus ketimbang tanah dibagi-bagi kepada para konglomerat ratusan ribu bahkan sampai jutaan hektar.
“Petani yang dapat lahan itu diberi biaya hidup untuk lima tahun. Ditambah bibit dan sarana produksi lain, saya kira anggaran untuk tiap keluarga tidak lebih dari Rp150 juta. Tapi setelah lima tahun, petani kita sudah bisa menikmati hasil panen dan jadi kaya raya. Mereka tidak perlu lagi ke Malaysia menjadi buruh sawit. Kita bahkan bisa mengimpor tenaga kerja dari Pakistan atau Banglades untuk mengurus kebun-kebun petani. Sayangnya, program ini tidak dilakukan,” paparnya. Rizal Ramli yang juga mantan Menko Perekonomian ini.
Pada kesempatan itu Rizal Ramli juga menilai cita-cita Bung Karno tentang Trisakti, yaitu kedaulatan dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya sangat relevan dengan kondisi hari ini. Tanpa kedaulatan, negara sangat rentan dan bergantung pada negara lain, tidak mungkin jadi negara kuat dan makmur. Trisakti juga relevan sebagai cara untuk menarik manfaat sebesar-besarnya dari globalisasi dan hubungan internasional. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA