post image
KOMENTAR
MBC.  Keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa Badan Penyelanggara Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) harus dibubarkan dinilai sebagai keputusan yang tepat. Pasalnya, keberadaan BP Migas telah menjadikan posisi pemerintah sejajar dengan pelaku bisnis, yang secara hukum mengaburkan keberadaan kita sebagai negara berdaulat.

"Dihubungkan dengan kondisi pengelolaan tambang dalam bentuk kontrak-kontrak karya, saya kira putusan MK ini harus dijadikan rujukan dalam kebijakan Pemerintah ke depan. Seperti apakah hubungan pemerintah dengan entitas bisnis, apakah sejajar atau apakah berada di atas kontrak-kontrak yang dibuat, sehingga kita tidak selalu didikte oleh pelaku usaha pertambangan besar semisal Freeport," ujar Wakil Ketua Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Bidang Politik dan Jaringan, Ridwan Darmawan, kepada Rakyat Merdeka Online, Selasa (13/4).

Dia berharap, MK punya terobosan hukum yang genuin baik di tingkat norma maupun praktek terkait implementasi kedaulatan bangsa dalam mengelola sumber daya alam yang sesuai Pasal 33 UUD 1945. Pada prakteknya, menurut Ridwan, hubungan hukum dan bisnis, misalnya antara Freeport dan pemerintah, selama ini berlangsung sejajar.

Tafsir MK tentang BP Migas dalam kontes Migas ini, lanjut Ridwan, harus menjadi pelajaran dan konsen semua elemen bangsa dalam konteks kedaulatan kita di bidang energi dan SDA. Jangan lagi negara didikte dan menggadaikan kedaulatan kepada korporasi.

"Misalnya soal tawaran pemerintah untuk memperbaharui kontrak karya dengan Freeport, itu sangat tergantung pada kemauan pihak Freeport. Sampai kapan Freeport mau, tidaklah jelas. Sementara jika negara atau pemerintah punya posisi yang jelas, maka tidak harus menunggu Freeport mau. Justru pemerintah bisa memaksa freeport untuk memutuskan ya atau tidak. Dan jika tidak mau, maka keluar dari Indonesia. Itu esensi dari kedaulatan," tandas Ridwan.

Seperti diketahui, MK melalui keputusannya Nomor 36/PUU-X/2012, resmi membubarkan BP Migas. Selanjutnya, tugas dan fungsi BP Migas dialihkan sementara ke Dirjen Migas, Kementerian ESDM. Dalam keputusan yang disampaikan tadi siang, MK memutuskan pasal-pasal yang mengatur tentang tugas dan fungsi BP Migas dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam keputusannya MK juga menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 dalam UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

UU Migas ini didugat ke MK oleh PP Muhammadiyah, lembaga keagamaan dan beberapa aktifis atau ahli seperti KH Hasyim Muzadi, Dr. Komaruddin Hidayat, Marwan Batubara, Adhie Massardi, M Hatta Taliwang. Bertindak sebagai kuasa hukum seperti Dr Syaiful Bakhri, Umar Husin dan saksi ahli diantaranya Dr Rizal Ramli, dan Dr Kurtubi. Gugatan dilayangkan karena mereka menilai UU Migas pro asing dan meruntuhkan kedaulatan bangsa. [rmol/hta]

PHBS Sejak Dini, USU Berdayakan Siswa Bustan Tsamrotul Qolbis

Sebelumnya

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN NELAYAN (KPPI) DALAM MENGATASI STUNTING DAN MODIFIKASI MAKANAN POMPOM BAKSO IKAN DAUN KELOR DI KELURAHAN BAGAN DELI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa