Pihak Kepolisian membantah telah menangkap 49 santri dan pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhfiya yang diduga terlibat jaringan teroris (Selasa,13/11).
"Bukan penangkapan," kata Kadivhumas Mabes Polri, Irjen Polisi, Suhardi Alius, saat dikonfirmasi pagi ini, (Selasa,13/11).
Tapi, meski membantah melakukan penangkapan, dia belum bisa menjelaskan secara gambalang soal peristiwa dini hari tadi.
Irjen Suhardi menjelaskan, hingga saat ini pihaknya masih mendapatkan laporan awal saja. Belum secara lengkap dan masih terus melakukan pemeriksaan terhadap seluruh anggota pondok pesantren yang diamankan.
"lengkapnya belum saya terima Mas. Baru info awal," pungkasnya.
Pada Selasa (13/11), puluhan aparat kepolisian bersenjata lengkap mendatangi pondok pesantren di Desa Kepuh, Kecamatan Kertosono, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur yang posisinya tidak jauh dari jalan utama yang menghubungkan Provinsi Jawa Timur dengan Provinsi Jawa Tengah.
Sekitar 49 santri dan pengasuh pondok pesantren yang diketahui bernama Nasiruddin Ahmad alias Landung Tri Bawono, asal Sukoharjo, Solo, dibawa polisi. Awalnya mereka dibawa ke Mapolsek Kertosono, Kabupaten Nganjuk, tapi kemudian mereka dievakuasi ke Polres Nganjuk dengan menggunakan bus.
Sejumlah tetangga mengaku mencurigai aktivitas di pondok tersebut. Mereka sering terlihat melakukan latihan bela diri, bahkan kegiatan itu dilakukan pada malam hari.
"Mereka sering latihan bela diri, bahkan mereka mempunyai lapangan mirip untuk latihan militer di belakang pondok. Kami curiga, mereka adalah jaringan teroris," kata Maryono, salah seorang tetangga.
Ia juga menyebut, rata-rata usia santri yang ada di pondok yang lebih dari satu tahun berdiri itu masih belasan tahun, masih pelajar setingkat SMP atau SMA. Mereka juga berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Banyuwangi, Pasuruan, Ambon, dan sejumlah daerah lainnya. [zul]
Ketum PBNU Minta Dukungan agar Resolusi Jihad Dimasukkan dalam Sejarah
Selasa, 13 November 2012 , 07:58:00 WIB
Laporan: Widian Vebriyanto
RMOL. Dalam peringatan Hari Pahlawan setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia selalu diingatkan akan kegigihan para pahlawan dalam mempertahankan NKRI. Namun demikian, dalam sejarah penting bangsa itu ada hal penting yang terlupakan, yaitu peranan para kiai, khususnya ulama sekaligus pendiri NU, Hasyim Ashari.
Hal itu disampaikan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj dalam acara Peringatan Hari Pahlawan dan Jihad NU "Meluruskan Sejarah yang Terlupakan" yang diselenggarakan oleh Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (Gemasaba) di Wisma Syahida UIN Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan tadi malam (Senin, 12/11).
Lebih lanjut Kiai Said berkisah mengenai peran para kiai NU yang menjadi aktor penting dalam gerakan 10 November di Surabaya.
"Pada awal September 1945, NICA (Netherlands Indies Civil Administration) memberitahu akan datang ke Indonesia untuk mengurus tentara-tentara belanda yang masih ada dalam di penjara Indonesia yang dipenjarakan oleh Jepang. Tapi NICA bawa senjata secara lengkap," cerita Kiai Said.
Persenjataan lengkap yang dibawa NICA ini membuat Bung Karno dengan seluruh jajaran pemimpin, Bung Hatta dan Jenderal Sudirman, mengadakan rapat untuk melawan. Namun rapat tersebut sempat terhenti kala para jajaran pemimpin ini kebingungan, dengan cara apa mereka melawan, pasalnya tentara saat itu masih letih usai melakukan perlawanan kemerdekaan.
"Tentara? Tentara kan baru saja perang kemerdekaan, masih capek, jadi gak mungkin dikerahkan," gurau Kiai Said yang diiringi tawa audiens.
Akhirnya dalam rapat itu ada yang mengusulkan untuk mengerahkan kekuatan rakyat. Namun lagi-lagi pertanyaan kembali muncul, yaitu dengan cara apa jajaran elit pemerintah saat itu bisa menghimpun rakyat.
Akhirnya, tercetuslah ide memanfaatkan peran kiai untuk menghimpun rakyat. Ini karena kiai memiliki basis masa di setiap pondok peantren dan tersebar di seluruh tanah air.
Presiden Soekarno kemudian mengirim utusan ke Ponpes Tebu Ireng menemui Kiai Hasyim Ashari dan menanyakan perihal hukum Islam bagi seorang pembela tanah air.
"Tanah dan air? lemah karo banyu? Bukan membela agama Islam?" gurau Kiai Said menirukan jawaban Hasyim Ashari yang agak bingung dengan pertanyaan utusan presiden itu.
Kiai Hasyim pun merenung sejenak dan mengatakan kepada utusan itu bahwa hukum membela tanah air adalah fardhu a'in, wajib dilakukan dan jika tidak melakukan akan berdosa.
Mulai dari saat itu, Kiai Hasyim segera menyerukan ke semua pengurus NU di seluruh Nusantara untuk berkumpul di Tebu Ireng pada tanggal 20-22 Oktober. Dan hasil dari perkumpulan para kiai NU ini adalah Resolusi Jihad 22 Oktober. "Dan hasilnya, pada tanggal 25 Oktober arek-arek Suroboyo siap ngeroyok NICA," sambung Kiai Said.
Puncaknya pada tanggal 30 Oktober Jenderal Mallaby mati. Karena ada yang menaruh bom di mobilnya. Serangkaian perang pun terjadi hingga puncaknya pada 10 November 1945 NICA mengaku menyatakan kalah meski berhasil membunuh ratusan ribu warga Indonesia dan berhasil menduduki Surabaya.
Said pun mengimbau kepada generasi penerus agar Resolusi jihad 22 Oktober untuk melawan NICA ini terus didukung agar tercatat dalam sejarah dan dikenal oleh generasi nantinya. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA