Pemberian gelar pahlawan nasional untuk Bung Karno bukan hal yang luar biasa karena tidak diikuti dengan upaya merehabilitasi nama baik Bung Karno yang ditumbangkan dalam kudeta merangkak yang berawal dari peristiwa Oktober 1965 hingga puncaknya pada Sidang Istimewa MPRS 1967.
"Tidak ada bedanya dengan Soeharto yang mengangkat Bung Karno sebagai proklamator," ujar Ketua Dewan Pendiri Yayasan Pendidikan Sukarno, Rachmawati Soekarnoputri.
Rachmawati akan mewakili keluarga Bung Karno menerima gelar pahlawan nasional yang diberikan di Istana Negara siang nanti (Rabu, 7/11). Selain Bung Karno, Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang diketuai Menko Polhukam Djoko Suyanto juga memberikan gelar pahlawan nasional kepada mantan Wakil Presiden dan Perdana Menteri Mohammad Hatta.
Menurut Rachmawati yang juga putri Bung Karno, pemberian gelar pahlawan nasional itu tidak sempurna sebelum TAP MPRS XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno dibatalkan.
Dalam Tap MPRS XXXIII itu antara lain disebutkan bahwa keseluruhan Pidato Presiden/Mandataris MPRS yang disampaikan kepada MPRS pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul "Nawaksara" dan Surat Presiden Mandataris MPRS tertanggal 10 Januari No. 01/Pers/1967 tentang Pelengkap Nawaksara, tidak memenuhi harapan rakyat pada umumnya, anggota-anggota MPRS pada khususnya, karena tidak memuat secara jelas pertanggungan-jawab tentang kebijaksanaan Presiden mengenai pemberontakan kontra-revolusi G30S/PKI beserta epilognya, kemunduran ekonomi dan kemerosotan akhlak.
Juga disebutkan bahwa MPRS mempertimbangkan laporan tertulis Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Soeharto yang menyebutkan ada petunjuk Sukarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan PKI dan melindungi tokoh-tokoh G30S/PKI.
"Secara logika dan nalar saja, Bung Karno masih terpasung TAP MPRS itu. Kenapa diberikan gelar? Akhirnya setengah-setengah," sesal dia.
Rachma sudah sering menyampaikan hal ini, baik kepada Soeharto maupun Megawati Soekarnoputi yang juga kakak kandungnya.
"Jawaban pemerintah, ini (pencabutan TAP MPRS) bukan kewenangan eksekutif tapi legislatif, dalam hal ini MPR. Tadi malam saya bicara ke Pak Sudi Silalahi, dan masih sama jawabannya," ujar Rachma lagi kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA