post image
KOMENTAR
MBC.  Direktur Riset ReIde Indonesia, Agus Surono, mengatakan terbitnya berbagai peraturan pemerintah mengenai rokok berimplikasi pada turunnya pertumbuhan industri rokok. Data yang ada menunjukan penurunan drastis pabrik rokok dari tahun 2005 sekitar 5.000-an menjadi hanya 1.917 pada tahun 2009, dan kurang dari 1.500 pada tahun 2010.

Secara produksi, memang produksi batang rokok tumbuh melesat dari tahun 2007 sebanyak 240 miliar batang per tahun menjadi 260 miliar batang per tahun pada 2010. Dalam roadmap industri pengolahan tembakau yang disusun Kementerian Perindustrian diarahkan pada 2015 produktifitas mencapai 260 miliar batang per tahun.

Agus mencontohkan, rokok produk HM Sampoerna (HMS) yang sekecil isi pulpen Parker, sebungkus berisi 16 batang, dilounch tahun 2008, dalam hitungan produktifitas, jumlah produksi batang per tahun rokok ini menambah target produksi, padahal beratnya cuma 25% dari 1 bungkus rokok SKT 76 atau Gudang Garam kretek.

"Hitungan produksi batang berbeda dengan hitungan berat sebagaimana ukuran FAO (lembaga pertanian PBB). Dengan demikian penghitungan produksi dengan milyar batang per-tahun akan sangat susah diprediksi, karena banyak kreasi produk rokok dengan size kecil," kata dia di Jakarta, Jumat (26).

Dalam berbagai kesempatan, kelompok anti tembakau selalu mengatakan bahwa saat ini import tembakau hampir setengah dari konsumsi tembakau dalam negeri. Kata mereka, yang bikin menurunnya konsumsi tembakau lokal adalah pabrikan rokok. Menanggapi pernyataan tersebut, ReIde Indonesia menilai bahwa pernyataan kelompok anti tembakau hanya ilusi, klaim sepihak.

"Tembakau lokal telah habis dikonsumsi pabrikan rokok, bahkan tembakau kita digunakan sebagai cerutu oleh Amerika maupun Jerman sebagai rokok-rokok pilihan. Tembakau cerutu di ekspor dari tembakau Jember dan sekitarnya, tembakau Jerman banyak menggunakan tembakau Deli Serdang," jelas Agus.

Menurut Agus, dengan kematian industri rokok "kecil sekali" (K-1000) akan mengurangi konsumsi tembakau-tembakau level rendah yang sekaligus tidak bisa diserap industri rokok besar dan ekspor. Maka, satu sisi memungkinkannya industri besar membuat rokok kelas menengah dan kecil (bukan kecil sekali), yang di masa lalu di-endors oleh regulasi, sangat memungkinkan bisa menyerap tembakau-tembakau tersebut. Dengan dilarangnya industri besar masuk ke industri menengah dan kecil, sebagaimana dalam PMK No 191/2010, membuat tembakau-tembakau tersebut akan mengalami kelangkaan konsumsi.

"Kebijakan ini dimaksudkan sebagai perlindungan terhadap industri "kecil" dan "kecil sekali", tetapi pada saat yang sama regulasi yang restriktif telah mematikan industri dengan dua kategori tersebut, terutama yang bukan anggota holding industri besar dan menengah," tegas Agus.

Sejak diberlakukannya PP 81/2000 zaman Presiden BJ Habibie, yang mewajibkan perusahaan rokok untuk memproduksi dengan kadar tar dan nikotin tertentu, telah membuat pabrikan rokok berkreasi mengkombinasi isi rokok dengan tembakau impor untuk memenuhi ketentuan tersebut. Sebagaimana kita tahu, tembakau lokal memiliki kadar tar dan nikotin yang tinggi. Keresahan petani tembakau muncul di mana-mana.

Tak lama ketentuan itu diganti dengan PP 19/2003 zaman Presiden Megawati, yang tidak lagi mewajibkan kadar tar dan nikotin tertentu pada produknya, tetapi hanya diwajibkan mencantumkan dalam bungkus rokok. Tetapi, regulasi itu telah terlanjur menciptakan produk-produk baru rokok dengan yang kita kenal "mild", "slim" yang sizing-nya makin kecil, dan terlanjur diterima masyarakat konsumen rokok.

Menanggapi implikasi peraturan tersebut, peneliti ReIde Indonesia Andriea Salamun menilai tentu saja ada perubahan perilaku konsumen yang di-endors oleh industri rokok. Menurutnya itu terjadi karena adanya kewajiban regulasi yang membuat saat ini konsumsi tembakau import telah biasa dipakai pabrikan rokok untuk produk-produk "mild" dan "slim" sebagai campuran tembakau lokal.

Meskipun dalam PP 19/2003 ada kewajiban dan tugas Departemen Pertanian untuk menciptakan genetikal tembakau supaya ber-tar dan nikotin rendah supaya bisa mensubstitusi import tembakau, tetapi sampai hari ini gagal diciptakan.

"Alih-alih menciptakan genetikal varietas tembakau yang berkadar tar dan nikotin rendah, justru pemerintah menerima program-program pengalihan tanaman dan pengurangan lahan sebagai proyek dengan dana rokok, APBN maupun luar negeri," pungkas Andriea. [rmol/hta]

Bank Sumut Kembalikan Fitrah Pembangunan, Kembangkan Potensi yang Belum Tergali

Sebelumnya

Berhasil Kumpulkan Dana Rp 30 Juta, Pemkot Palembang Sumbang Untuk Beli APD Tenaga Medis

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Ragam