Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, didesak membubarkan media televisi yang melakukan monopoli, karena melanggar UU No 32/ 2002 tentang Penyiaran.
Jika tidak, publik akan melakukan gugatan legal standing terhadap Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), karena dengan sengaja membiarkan pelanggaran UU Penyiaran terjadi.
Hal itu mengemuka dalam dikusi tentang "Implikasi RUU Penyiaran Terhadap Monopoli Media" yang dilaksanakan di DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (Rabu, 24/10).
Hadir sebagai pembicara Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Ezky, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers, Hendrayana, dan pengamat politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga.
Menurut Jamuluddin Ritongan, jika mengacu pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pemerintah melaksanakan seraca utuh UU Penyiaran, maka pemerintah harus membubarkan semua stasiun televisi yang melakukan monopoli penyiaran.
"Perubahan stasiun televisi TPI ke MNC misalnya, kita tidak tahu sama sekali apakah izin frekuensinya berubah atau tidak. Kita tiba-tiba saja tahu di media sudah berubah namanya. Pemerintah harus tertibkan semuanya itu, harus bubarkan semuanya itu. Itu jelas melanggar UU," katanya.
Wakil Ketua KPI, Ezky justru mempertanyakan mau diapakan televisi yang melakukan monopoli, seperti MNC Group yang menguasai RCTI, TPI, dan Global TV, atau Viva Group, Trans Corp, atau EMTEK yang menguasai SCTV dan Indosiar.
"Mau diapain lembaga penyiaran ini yang jelas-jelas melanggar UU Penyiaran? Mau dibubarkan? Dipidana atau diberi denda?" katanya.
Ezky mengakui, banyak yang dilanggar terkait pemberian izin siaran yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika. Terhadap berbagai pelanggaran itu, KPI sudah mengirim surat ke Kementerian Kominfo bahwa secara proseduran sudah salah.
Direktur LBH Pers, Hendrayana menambahkan, jika pemerintah tidak juga melaksanakan amanat putusan MK, maka pihaknya akan melakukan gugatan legal standing. "Kami juga bisa menggugat secara pidana kepada pemerintah, yang tidak menjalankan kewajiban menegakkan UU," katanya. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA