Baru menjadi Gubernur DKI, Joko Widodo (Jokowi) sudah dihadapkan pada sengketa aset Pemprov. Salah satunya, sengketa dengan PT Porta Nigra (PTPN).
Meski dinyatakan kalah oleh Mahkamah Agung (MA), Pemprov DKI Jakarta tetap tak mau membayarkan ganti rugi Rp 391 miliar ke PT Portanigra atas kasus kepemilikan lahan 15 hektare di Meruya Selatan, Jakarta Barat. Namun, Pemprov yang kini dipimpin Jokowi pun melawan.
Pemprov DKI justru akan mengajukan peninjauan kembali (PK), meski masanya sudah lewat atau kedaluwarsa, setelah waktu 180 hari sejak putusan Mahkamah Agung (MA) 23 September 2011.
Kuasa hukum Pemprov DKI Manihar Situmorang menyatakan, Pemprov ogah membayar tuntutan tersebut. "Tidak akan dibayar, karena ada perkara bantahan atas obyek yang sama dan dimenangi oleh Pemprov DKI. Kalau ada pembayaran, itu bisa diartikan korupsi," tegasnya.
Manihar menegaskan, hingga kini, tak ada putusan baru yang dikeluarkan MA. Putusan MA dilakukan hanya pada pengajuan kasasi pertama yang dimenangi Portanigra dan kasasi kedua yang dimenangi Pemprov DKI Jakarta.
Dia mengakui, belum mengajukan PK sejak putusan itu keluar. Pasalnya, salinan putusan MA yang memenangkan Pemprov DKI tahun 2010 belum diterima hingga tahun ini. Padahal, putusan itulah yang akan menjadi novum untuk PK.
Menurut Manihar, pihaknya sedang menyusun upaya PK atas perkara nomor 2971 karena ada kemenangan perkara oleh DKI.
"Anehnya salinan putusan atas perkara yang dimenangi DKI tersebut, yang diputus pada 2010, hingga kini belum diterima dari MA oleh Pengadilan Jakarta Barat. Ada apa ini?" tanyanya.
Seperti diketahui, kasus sengketa tanah Portanigra dengan masyarakat Meruya Selatan mencuat sekitar tahun 2007. Kasus sengketa tanah sejak 1972-1973 ini tak kunjung usai. Total lahan yang disengketakan seluas 112 hektar, yang terdiri dari 78 hektar di Meruya Selatan, 44 hektare di tangan warga, 29 hektar aset pemprov, dan sisanya tanah milik swasta.
Pada 1970-an itu, Portanigra telah melakukan pembebasan lahan 44 hektare di Meruya. Belakangan, warga setempat bernama Juhri bekerja sama dengan Lurah Meruya Udik, Asmat bin Siming menjual tanah itu ke Pemprov DKI memakai surat palsu.
Portanigra membawa sengketa tanah ini ke ranah hukum dan menang hingga tingkat kasasi. Saat hendak dieksekusi, terjadi perlawanan warga dan berakhir dengan perdamaian.
Kini, kasus tersebut menyisakan persoalan ganti rugi antara Pemprov DKI dan Portanigra. Putusan 23 September 2011 yang diketuai M Taufik, Abdul Gani, dan Abdul Manan mengalahkan Pemprov DKI dan menyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA